Minggu, 28 Agustus 2016

Resonansi Puisi-Puisi Religius

Sajak-sajaknya yang religius dan bahkan cenderung sufistik jelas terbaca sejak awal kepenyairannya 30 tahun yang lalu. Dalam antologi puisinya “Tuhan, Kita Begitu Dekat” (November 2012), nampak sekali perkembangan puisi seorang Abdul Hadi WM dari masa ke masa. Puisi sufistik  begitu kental dibahasakan di antaranya melalui puisi al Hallaj, Syeh Siti Jenar, Hamzah Fansuri, Doa Ayub, bahkan Meditasi (bagian 3 dari buku).

Pada al Hallaj, beberapa lariknya mengandung makna yang demikian kental. Darah sebagai perlambang pembebasan hakikat manusia (yang setengahnya merupakan sifat hewani), ditulis berulang-kali sebagai penekanan seperti hendak dikeluarkan menjadi sebuah persembahan, atau pengorbanan terhadap penyatuan insan dengan Tuhannya.

Simak beberapa larik terakhir, Darah menulis cinta/cinta mengecup darah/darah menyalakan api padam/darah menghancurkan pagar penghalang/ darah/darah/darah/cadar Yang Haq disingkap darah/darah/Allah/Allah. Atau pada puisi Nukilan Dari Lagu Syeh Siti Jenar, Sebab kau dekat dengan Tuhan//Di Ka’bah, di tiang gantungan/Dan di tikar sembahyang// Sebab kau dekat dengan Tuhan. Sapardi  menyebut sajak-sajak Abdul Hadi WM sebagai sajak yang remang remang, karena memberi kebebasan bagi imajinasi pembacanya. Sebuah sajak yang buruk, adalah sajak yang kerap menjelas-jelaskan atau memaksa pembacanya untuk mendengarkan dengan pasif untuk menerima setiap pesan yang disampaikan oleh penyairnya, demikian menurut Sapardi.

Pada Meditasi, seluruh agama-agama samawi dimasukkannya dalam penyusunan diksinya yang mengalir deras. Simak pada /aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan nasehat.  Sakramenku ialah ketiadaan. Syahadatku ialah perubahan terus menerus. Dan kota suciku ialah hati. …/Dst, dilanjutkan dengan pertanyaan pada bagian ke V, /Tuhan, siapakah namamu sebenarnya? Dari manakah asalmu? Apakah kebangsaanMu? Dan apa pula agamaMu? Manusia begitu ajaib. /Dst. pengembaraannya atas pertanyaan tentang eksistensi Tuhan yang ditulisnya pada tahun 1974.

Mari bandingkan dengan sajak-sajak Zawawi Imron, selain Bulan Tertusuk Lalang yang terkenal, sajak rohaninya di antaranya adalah  Zikir (1980); Alif, alif, alif!/Alifmu pedang di tanganku/Susuk di dagingku, kompas di hatiku/Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut/Hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan/ pada setiap larik, terbaca kedalaman dan hakikat dasar dimensi ketuhanan, keimanan kepada Tuhan sebagai Alif yang merupakan huruf hijaiyah pertama dalam bahasa Arab (al Qur’an) sebagai wahyu Allah. Alif dipersembahkan kepada pembaca sebagai petunjuk hidup, mampu menegakkan amar ma’ruf, nahi munkar, sebagaimana pesan dakwah dalam agama Islam.  Pada Kolam, ketika langit jadi gulita/senandung malam makin mendasar/dari kolam itu tumbuh keikhlasan/mengajarkan sujud yang paling tunjam (1979) secara isi, sajak ini mengandung nasihat tentang peribadatan seorang hamba kepada Tuhannya.

Kini kita beralih kepada sajak-sajak Kyai Mustofa Bisri, selain sajak Ibu yang fenomenal. Pada Atas Nama Tuhan;  Ada yang atasnama Tuhan melecehkan Tuhan/Ada yang atasnama negara merampok Negara/Ada yang atasnama rakyat menindas rakyat/Ada yang atasnama kemanusiaan memangsa manusia// dst, diakhiri dengan /Atau atas namaKu, perangilah mereka!/Dengan kasih sayang!

Bandingkan dengan sajak Taufik Ismail dalam Nasehat-nasehat Kecil Orang Tua pada Anaknya Berangkat Dewasa; ….Jika adalah orang yang harus kau agungkan/Ialah Rasul Tuhan/Jika adalah kesempatan memilih mati/ Ialah syahid di jalan illahi. Taufik Ismail menerjemahkan penghayatan keagamaannya melalui puisi yang menempatkan “kau” kepada pembaca sebagai yang patut diberi nasihat.  Sedangkan selain sajak Dengan Puisi Aku, “Mengenang Keabadian Yang Akan Datang”,  yang merupakan renungan tentang kematian (alam barzakh) yang menempatkan “aku” lirik dalam hakikat pengembaraan dimensi penghambaan kepada Tuhan.

Jika kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan atau Sutan Takdir; sebagai tendenzz literatuur, karangan yang penuh susila, atau JE Tatengkeng; seni sebagai gerakan sukma dengan sajak ketuhanan Kristen, atau Abu Zaky (Buya Hamka), sebagai ulama yang sastrawan dan sepanjang karyanya kental dengan religiusitas, kini pertanyaannya kembali pada paragraf awal tulisan ini, Octavio Paz; 

Berapa banyak orang yang membaca puisi? Berapa banyak orang yang membaca puisi religius? Seberapa jauh resonansi puisi-puisi religius sebagai media dakwah dalam mengentaskan kemerosotan moral?  Atau jangan-jangan sastra religius hanyalah merupakan pemuasan dahaga sastra bagi kalangan sastrawan atau kritikus sastra untuk dijadikan objek  pembahasan, atau sekadar merupakan buah pikir kegelisahan pribadi seorang penyair yang lebih menempuh jalan sunyi. Lantas oleh karena itu “belum tentu” bisa dijadikan sebagai pemecah persoalan moral bangsa. Wallahua’lam bisshawab.

9 Februari 2014

Sebelumnya: Religiusitas dalam Puisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.