Minggu, 28 Agustus 2016

Membaca Jangan Panggil Aku Penyair

Oleh Weni Suryandari

Membaca seluruh karya karya Muhammad Lefand yang tercantum dalam buku Jangan Panggil Aku Penyair (JPAP), maka benak kita dipengaruhi oleh berbagai penafsiran tentang seorang penyair Lefand, dengan segala pemikiran kritisnya. Buku yang memuat hampir 90 karya puisinya ini menyingkap berbagai hal menyangkut pemikiran  Lefand;  kondisi negeri yang sedang dalam suasana panas, yang umumnya di tulis dengan lugas, puisi religious yang ditulis dengan halus dan terasa efek estetis keindahannya saat membaca, juga tentang romantisme (perempuan, ibu).

Menurut Wellek dan Warren: bahasa sastra jauh dari sekedar referensial. Memiliki sisi ekspresif; ia menyampaikan nada dan sikap dari pembicara atau penulis. Dan itu tidak hanya menyatakan dan mengungkapkan apa yang dikatakannya; juga ingin mempengaruhi sikap pembaca, membujuknya, dan akhirnya mengubahnya. Theory of Literature, 3rd ed. (New York: Harcourt, Brace & World, 1956), pp. 20-28:

Jika kita membaca  beberapa puisinya, Lefand menulis sangat tegas dan lantang. Dalam hal ini, maka Lefand berhasil mempengaruhi pembacanya. Seperti dalam puisi Tarekat Cinta II  (saya kutip beberapa bait saja) yang diperuntukkan bagi perempuan yang ia cintai (?).

TAREKAT CINTA II

kasih, dalam cinta
tak ada kata menyerah
seribu kali disakiti
takkan luka hati

kau boleh sepuas-puasnya
melukai aku
tapi itu takkan menyurutkan
keikhlasan cintaku padamu

asal kau tahu
cinta ini bukan karena wajah
dan senyummu yang mempesona
tapi karena-Nya

kasih, jika nanti
kau melabuhkan cintamu
pada orang lain
takkan luntur sedikitpun cinta ini

kau sudah merasakan sendiri
ketenangan ketika bersamaku
matamu berkaca-kaca
dalam memandangku

………………………
Jember, 08-11-2014

Atau pada puisi berikut yang terbaca begitu satir dan menantang. Saya lebih suka menyebutnya sebagai sebuah orasi yang bisa jadi mempengaruhi pembaca untuk bertindak.
 
SALAM DUA RIBU

hai masyarakat Indonesia
salam dari saya
salam damai
salam dua ribu

mari dengan semangat
kita belajar blusukan
ke pasar
ke sekolah
ke sawah
kalau perlu ke rumah sendiri

mari kita kerja
kerja rodi
romusha
jangan takut mati
demi kemajuan bangsa kita
yang kaya sangat miskin
jangan lupa ibadahnya
agar penderitaan kalian dapat pahala

salam dua ribu
kita nyanyikan
di jalan-jalan
agar semua tahu
kalau rakyat Indonesia
bisa patungan demi kemajuan bangsa
tidak seperti negeri lain
yang suka mencuri kekayaan
negara lain
nyanyikan dengan semangat menolak lupa

Jember, 19-11-2014

Dalam konsepsi  Adonis, menulis puisi adalah untuk menggerakkan pembacanya agar berbuat sesuatu, memberi pembebasan dari belenggu kemapanan rezim (situasi politik sebuah Negara kerap membutuhkan para seniman dan penyair untuk mengubahnya).

Sampai pada tahap ini, maka puisi Lefand di atas cukup mewakili apa yang dikehendaki sebagai sebuah karya sastra. Terlepas dari apakah karya tersebut dianggap buruk atau tidak oleh para pembaca atau kritikus. Bagi saya pribadi, kemurnian dan kejujuran pemikiran seorang penyair lebih dikedepankan ketimbang harus menuruti keinginan pasar yang seringkali tidak kontekstual. 

Sejauh apa sebuah puisi bisa ditafsir dan dimaknai pembacanya secara tajam dan utuh? Sampai saat ini masih terdapat berbagai pandangan di kalangan masyarakat dan pemerhati sastra. Ada dua pendapat mengikuti penikmat (pembaca sastra) yaitu pertama, puisi yang ditulis dengan lugas dan lantang tanpa metafora lebih mudah diterima dan dimaknai oleh pembaca. Kedua, puisi yang ditulis dengan metafora, symbol, majas serta kehati hatian dalam penyusunan diksi bisa menimbulkan multi penafsiran, dan oleh sebab itu menyulitkan pembaca untuk memahaminya.  Apakah bisa menggerakkan?

Di atas semua itu, saya masih meyakini tentang keindahan sebuah puisi yang meski pun ditulis dengan lugas namun tetap memiliki keindahan.  Sebab I A Richard, seorang kritikus mutakhir Inggris ( Feb. 26, 1893 - Sept. 7, 1979, Cambridgeshire) berpendapat bahwa puisi melakukan fungsi terapi dengan mengkoordinasikan berbagai impuls manusia ke seluruh estetika, membantu kedua penulis dan pembaca menjaga psikologis kesejahteraan mereka. Principles of Literary Criticism (1924). Artinya puisi bisa mempengaruhi manusia secara afektif  selain hanya perubahan pengetahuan semata.

Pada puisi berikut, efek citraan dari perasaan penyair tersampaikan dengan indah.  Meski ditulis dengan lugas, namun citraan yang dibangun dalam kelugasan kata kata antara judul “BERITA DUKA” dan isi (tiga larik puisi) saling mengisi ruang makna di hati pembaca.

BERITA DUKA

daun gugur
ranting terbakar
pohon kehilangan akar

Jember, 28-02-2015


Sebagai alinea terakhir, izinkan saya mengutip kata kata bijak seseorang “kita memang tak pernah bisa memuaskan semua pihak”. maka segala kontroversi yang akan lahir sesudah sebuah karya (buku) puisi dilepas tentu menjadi tanggung jawab penulisnya baik secara akademik maupun moralitas (kejujuran gagasan).

Lefand,  jika kau tak ingin dipanggil penyair, berhentilah menulis puisi, tetapi gerakkanlah sebuah perubahan. Nah, bagaimana? Salam.


Bogor, 3 April 2015





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.