Sabtu, 27 Agustus 2016

Juleha


Cerpen: Weni Suryandari

SUDAH sepekan ini Juleha, gadis dusun yang diangkat anak oleh Rosyidah mendekam di balik jeruji besi. Tak terlihat kelelahan atau mimik sedih karena mendekam di sel kaku itu. Wajahnya, sorot matanya, bahkan terlihat dingin jika ada tamu, kerabat atau famili yang mengunjunginya. Ia tahu kesalahannya apa, dan sudah tahu resikonya. Tapi ia puas. 

Ingatannya kerap melayang pada peristiwa setengah tahun lalu, tepatnya di bulan Juni. Suatu sore ketika ia sedang berjalan menyusuri pematang sawah menuju rumah Ijah, sahabatnya mengaji sejak kecil, debar asmara mulai bermain di dadanya.

Dari seberang sana, ia melihat seorang lelaki berparas tampan, kulitnya putih bersih, dengan dagu dan pipi kehijauan sisa cukuran. Lelaki itu melambai padanya, dan memberi senyum sambil menganggukkan kepala. Dalam jarak 10 meter, ia dapat melihat jelas wajah lelaki itu. Sesaat jantung Juleha berloncatan. Ia hampir tergelincir di pematang yang licin itu. Untung ia sanggup menguasai diri dan berjalan tegap tanpa menundukkan kepala. Rambutnya yang dikepang dua dengan poni yang meriapi dahinya tak menutupi kecantikan wajahnya. Lesung pipit dan mata bulat yang indah menawan hati setiap kumbang desa.

Begitulah, ia semakin sering melewati pematang sawah yang menuju rumah Ijah hanya untuk melihat pria tampan itu lagi. Belakangan baru ia ketahui bahwa lelaki itu bernama Sodikin. Pegawai Pemkab yang sering mengunjungi kantor KUD Kecamatan yang terletak di seberang jalan raya. Kadang ia melihat Kang Ikin—begitu ia minta dipanggil—sedang mengobrol dengan seseorang bercaping di saung tengah sawah. Dari pakaian yang dikenakannya jelas Ikin lebih bersih dan terpelajar, sedang lelaki bercaping itu, mungkin petani penggarap sawah atau pemilik sawah.

Lama kelamaan pandangan mata tak cukup lagi buat keduanya, Kang Ikin mulai memberanikan diri mengantar Juleha ke rumah Ijah. Kadang mereka naik motor memutari jalan raya dan jalan setapak, kadang melewati pematang yang sama, dengan bertelanjang kaki. Semakin lama dikenalnya, Kang Ikin memiliki pesona tersendiri bagi Juleha yang tamatan Aliyah Negeri di dusun itu. Tak ada kumbang desa yang sanggup menawan hatinya. Kang Ikinlah yang sanggup memenuhi seluruh rongga kepalanya siang dan malam, bahkan dalam mimpi. Angan angan tentang masa depan segera dirajutnya.

“Juleha, aku mau ke rumahmu boleh?”
“Ah, Akang pake nanya segala, main saja ke rumah kenalan sama Emak saya”
“Betul boleh? Akang pingin kenalan sama orang tuamu, Juleha”
“Hayu, atuh Kang. Saya cuma punya Emak, Bapak teh sudah lama meninggal”
“Oh.. begitu. Kira-kira ada yang marah nggak nanti?” pertanyaan basi, menggoda.
“Siapa yang akan marah?” polos Juleha balik bertanya sambil mengernyitkan alis.

Sinar matahari makin menularkan cahaya emasnya pada gadis manis itu. Bulu-bulu tipis di atas bibirnya cukup menggemaskan Ikin. Makin kuat keinginannya untuk mempersunting Juleha. Setidaknya bisa menemaninya sebagai istri jika Sodikin harus berpindah-pindah tugas ke daerah lain kelak.

“Kirain, Juleha sudah punya pacar?”
“Ah!! Akang… siapa yang mau sama saya, Kang? Orang kampung….,” dikibas-kibaskannya tangannya, seolah meyakinkan Ikin bahwa ia memang belum punya pacar.
“Baiklah kalau begitu, Juleha. Besok malam Minggu Akang main ya…?”
“Baik Akang. Tapi habis isya ya? Saya ngaji dulu di musholla,” Juleha mengangguk malu dan girang.

Malam minggu masih 3 hari lagi. Juleha sudah sibuk memikirkan pakaian yang akan dikenakannya dan suguhan yang akan disiapkannya. Pasti ia akan meminta bantuan Mak Rosyidah membikinkan kue bugisnya yang terkenal enak di kampung itu.

Lima menit lagi azan isya berkumandang, lalu Juleha akan segera sholat berjama’ah dan segera pulang. Ah, jam dinding di sebelah kiri mimbar di langgar memaku matanya. Ia tak sabar. Marbot Yusuf sudah bersiap hendak mengumandangkan azan. Segera dipasangnya mukena, agar tak ketinggalan dan mesti menyusul seperti teman-temannya yang masih sibuk bercanda. Ia berniat segera pulang begitu doa selesai dipanjatkan.

Setibanya di rumah, dilihatnya motor Sodikin sudah mematung di depan rumah Juleha. “Pasti Emak sudah mempersilakannya masuk,” hatinya meletup-letup. Ia masuk ke halaman dengan membawa hati yang berdegup kencang.
 “Assalamu’alaikum. Kang Ikin? Sudah datang?” disambutnya wajah yang dirindunya dengan senyum sumringah.
“Maaakk….! Kuenya mana?“ serunya sambil meletakkan mukena di kursi tengah ruang dalam. Rosyidah keluar dari dapur.
“Ya, sabar! Emak lagi susun di piring.” Senyum menghiasi wajah mereka berdua.
“Cepat Mak! Minumnya mana?” serunya sambil membereskan poninya.
“Ini, sudah. Teh manis hangat, pake gula batu. Bawa sana!” Rosyidah menyodorkan baki. Juleha menyambut baki itu dan melangkah keluar dengan dada tegap. Ia berusaha mengatasi rasa gugupnya, merasa diapeli! Ini adalah saat pertama dalam hidupnya dikunjungi lelaki tampan pujaannya. Ia tersenyum dikulum.
“Silakan Kang, diminum. Ini kue bugis khas buatan Emak. Sudah terkenal di kampung sini.

Sering dipesan tetangga kalau ada kendurian!”
“Wah, enak Juleha. Ah, merepotkan saja,” Sodikin segera merapikan duduknya.
Malam merambat pelan diselingi percakapan ringan yang penuh kehati-hatian. Perbedaan usia mereka memang cukup jauh. Mungkin 6-7 tahun. Sodikin cukup matang untuk menikah. Rasanya tak mungkin jika ia belum menikah. Setidaknya menurut Rosyidah yang menerawang jauh mengingat-ingat sosok Sodikin saat berkenalan tadi.
Juleha menunggu obrolan Sodikin selanjutnya. Ia bungah. Dunia seakan ada di hatinya.
“Juleha, Akang pulang dulu ya..,” Ikin memecah lamunan Juleha.
“Eh, Akang kok buru-buru?”
“Iya, nggak enak sama Emakmu. Sudah malam.”
“Saya panggil Emak dulu ya?” ia beranjak memanggil Rosyidah.

Sodikin menyambut sosok Rosyidah yang ayu, matang dan berbeda dengan wajah Juleha yang begitu remaja. Sejak berkenalan tadi, Sodikin digelayuti penasaran ingin melihat wajah Emak Juleha itu sekali lagi. Rosyidah keluar dengan wajah sumringah seakan menyambut calon menantunya. Sesungguhnya Rosyidah seakan melihat sosok kekasihnya saat ia masih menjadi buruh di sebuah pabrik sepatu. Itu dulu belasan tahun yang lalu.

Namun perawakan Ikin sedikit lebih mungil, dan tentunya lebih muda!
“Mau pulang, Ikin? Ya sudah, lain kali datang lagi ya, jangan bosan…”
Tangan perempuan yang hobi memasak terasa dingin dan halus di telapak tangan Sodikin. Tak disangkanya Rosyidah tampak lebih muda sebagai Ibu Juleha. Sodikin bingung mau memanggilnya Ibu, atau apa. Tapi karuan saja ia tetap memanggil Ibu. Sembari membungkukkan kepala, ia berpamitan.

Sejak saat itu, Juleha tak pernah merasa cukup sabar untuk pulang cepat seusai mengaji di musholla. Jika malam Minggu tiba, ia berharap sosok lelaki itu sedang duduk di kursi beranda rumah sembari menantinya. Bahkan melihat motor Sodikin terparkir manis di muka pagar pun membuat hati Juleha berbunga-bunga. Darahnya berdesir desir sambil berlari kecil.

Kadang-kadang jika Sodikin tidak datang malam Mingguan, ia akan melamun dan tak mau bicara. Kendati pun Rosyidah berusaha menenangkan hatinya. Ia tetap membisu.

“Mungkin Ikin sedang ada pekerjaan di luar kota, Leha!”
“Atau ia sedang sakit. “
Juleha tetap cemberut.
“Kenapa gak pernah kasih kabar ya Mak, kalau nggak bisa datang? Sering sekali begini.”
“Emak nggak tahu, Leha. ”

Sudah empat bulan mereka berpacaran, setidaknya menurut Juleha. Sesekali mereka berjalan-jalan ke kota, ke mall dan pulang selalu kemalaman. Rosyidah tak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan menyambut Juleha dengan pelukan. Sodikin pun seakan merasa nyaman dengan perlakuan Rosyidah padanya. Baginya ada sesuatu yang lebih bermakna dari itu.
“Besok Emak jangan ke mana-mana ya?”
“Memang kenapa Emak nggak boleh pergi?”
“Emak sekarang sering pergi-pergi. Kadang-kadang ke salonlah, ke mall segala!”
“Kan nggak apa-apa sekali-sekali, Leha?”
“Iya tapi jangan besok. Nanti rumah kosong. Leha mau pergi agak lamaan!”
Rosyidah mulai disergap curiga.
“Mau ke mana sih, geulis?” ujar Rosyidah sambil membelai-belai kepala Juleha.
“Juleha mau ke rumah Kang Ikin di kota.” Rosyidah tersedak.
“Juleha tahu rumahnya?”
“Pernah ke sana dulu, satu kali.” Rosyidah menelan ludah. Dadanya berdebar-debar. Anak ini sudah tumbuh perawan. Bagaimana pun ia cukup khawatir dengan keberanian Juleha. Ke kontrakan Sodikin? Ah!

Juleha adalah anak kandung saudara sepupu Rosyidah, perempuan, yang meninggal dalam kecelakaan bis antar kota saat Juleha berusia 4 tahun. Ayah kandungnya pergi ke Arab dan tak pernah kembali sejak istrinya meninggal. Lalu Juleha diangkat anak oleh Rosyidah dan Mastur, suaminya. Pasangan itu memang belum dikaruniai anak setelah 10 tahun menikah. Mastur meninggal karena sakit paru-paru sejak Juleha menginjak kelas satu SMP.

***

SODIKIN menarik nafas panjang sambil membelai rambut wanita itu. Ia mendengar dengan hati hati setiap cerita yang diungkapkan wanita cantik itu. Rambut yang hitam bak mayang terurai benar benar memabukkan hasrat Sodikin untuk terus bercumbu dengannya. Matanya indah dengan bulu mata yang tebal mempesona. Tutur katanya tenang dan matang. Sodikin tak kuasa menolak pesonanya. Seperti menemukan oase, lelaki itu mencandunya.

Perempuan kekasihnya itu pun menyambutnya dengan penuh hasrat yang terpendam, seperti rumput kering yang menantikan hujan. Bagi perempuan itu, kehadiran Sodikin membuat hidupnya lebih bergairah. Hari-harinya menjadi lebih berwarna.

Kadang-kadang Sodikin membandingkan perempuan itu dengan Juleha, jelas ia lebih memilih yang lebih matang dan dewasa. Juleha masih sangat polos dan kekanak-kanakan. Mungkin ia juga belum begitu berpengalaman dalam memperlakukan laki-laki. Sedangkan perempuan matang di hadapannya ini begitu menghisap, seperti magnit. Usia tak lagi menjadi penghalang bagi mereka untuk berpacaran.

“Sayang, kapan kamu akan berterus terang pada Juleha tentang kita?” desak Sodikin.
“Entahlah. Apa aku tega untuk berterus terang padanya? Dia sangat mencintaimu.”
“Tapi cepat atau lambat Juleha harus tahu, dan aku harus menjauhinya.”
“Menjauhinya? Kamu pikir akan semudah itu bagi dia? Kamu tidak tahu bahwa dia sangat memujamu. Setiap hari yang dia ceritakan hanya Kang Ikin akan begini, Kang Ikin akan begitu, Kang Ikin…. Kang Ikin…. terus! Mana mungkin aku tega melukai hatinya?” suara wanita itu berbisik agak keras.
“Tapi aku sudah tidak tahan lagi. Aku tak nyaman dengan keadaan ini,” Sodikin memperkuat pelukannya.
“Sabarlah, nanti akan aku cari waktu yang tepat,” perempuan itu balas memagutnya. Mendung bergelayut, cuaca kian dingin. Dedaunan berkerisik hingga sesekali guruh gemuruh terdengar di angkasa.
Mereka melanjutkan cumbu mereka hingga sore. Sebuah pemandangan yang biasa jika Sodikin mengundang wanita itu datang ke kontrakannya di kota. Mereka sama-sama mabuk asmara. Bisik-bisik tetangga tak dihiraukannya.
“Maaak!? Apa yang Emak lakukan di sini?”
“Julehaaa!!!” Sodikin dan kekasihnya melompat! Saling melepaskan pelukan dan berdiri sambil membenahi pakaian.
“Kang Ikiin?? Sudah sejak lama aku melihat Akang memperhatikan Emak lebih dari biasanya! Bahkan sekarang jarang menengok Leha! Aku benci kalian!”
Juleha naik pitam, ia meraung sejadi-jadinya. Ia lemparkan semua barang yang ada dan terjangkau tangannya. Buku-buku, botol parfum, minyak rambut, sisir cermin rias dan sebagainya. Ia mengamuk. Beberapa tetangga mulai berkerumun di teras rumah.

“Juleha! Dengarkan dulu Juleha! Dengarkan!!! Akang mau jelaskan sesuatu!!” Sodikin memegangi tangan Juleha. Rosyidah menangis tergugu di pojok ranjang. Ia tak sanggup berkata-kata. Ia tak berani beranjak.
“Apa? Apa yang akan Akang jelaskan? Akang telah mempermainkan hati saya!!!” Juleha memukul-mukul tubuh atletis Sodikin.
“Aku jatuh cinta pada Mak angkatmu, Rosyidah. Aku mencintainya dan akan menikahinya Juleha!!” Juleha makin histeris. Matanya memerah. Sodikin memegangi tangan Juleha. Ia bertelekan lutut di lantai. Ia menghiba. Suaranya gemetar.
“Apa? Apa Akang bilang? Penipu! Bajingan!“

Juleha berusaha sekuat tenaga meronta dari pegangan tangan Sodikin yang begitu kuat. Ia berlari menuju dapur, mengambil sesuatu, lalu berlari kembali menuju kamar, sementara Sodikin yang hendak mengejar Juleha ke dapur berpapasan di depan pintu kamar. Sebilah pisau tajam ia tancapkan di dada Sodikin. Rosyidah menjerit. Sodikin ambruk bersimbah darah. Juleha nanar menatap Kang Ikinnya yang sekarat.
Kerumunan tetangga berdatangan. Rosyidah pingsan.[]

Jati Asih, Mei 2009
Cerpen diatas terkumpul dalam buku kumpulan cerpen “Kabin Pateh” 
foto ilustrasi: lukisan Awins (blog-senirupa.blogspot.co.i)

1 komentar:

  1. T.I.T.S. Classic Iron Set - Titanium Max Trimmer
    ‎T.I.T.S. Classic Iron Set surgical steel vs titanium - Titanium Max used ford escape titanium Trimmer · citizen promaster titanium ‎T.I.T.S. Classic · titanium rod ‎T.I.T.S. where is titanium found Classic T-Core Set

    BalasHapus

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.