Minggu, 28 Agustus 2016

Religiusitas dalam Puisi

Oleh: Weni Suryandari

Pengertian religiusitas adalah pengabdian terhadap agama (religi). Religius berarti segala hal yang bersangkut paut dengan religi. Religius dan religiusitas berorientasi pada tindakan penghayatan yang intens terhadap yang Maha Tunggal, yang di Atas, atau Sang Pencipta (Tuhan). 

Puisi adalah semacam katarsis kegelisahan yang disampaikan secara indah dalam medium kata-kata, olah kata-kata yang berbisik dalam kalbu (intuisi) dan menghasilkan suara tersendiri dalam menyikapi  masalah-masalah yang ada dalam diri dan lingkungan sekitarnya, masalah-masalah tersebut mencakup segala aspek kehidupan, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, alam, maupun dengan sesama manusia pada umumnya. 

Dengan demikian, religiusitas dalam puisi merupakan penyatuan yang pantas untuk menuliskan keadaan batin dan penghayatan keagamaan dalam medium keindahan berbahasa dengan menggunakan diksi, majas, metrum, metafora yang dipenuhi unsur estetika puisi.  Sesungguhnya pembicaraan mengenai religiusitas berkaitan dengan adanya kenyataan merosotnya kualitas penghayatan orang dalam beragama atau berkaitan dengan hilangnya dimensi kedalaman dan hakikat dasar yang universal dari religi.

Jadi, religiusitas merupakan kritik terhadap kualitas keberagamaan seseorang di samping terhadap agama sebagai lembaga dan ajaran-Nya. Kriteria-kriteria religus dalam sebuah karya sastra yang dikemukakan oleh Saridjo (Jassin, 1972: 60), yakni karya sastra yang menitikberatkan kehidupan agama sebagai pemecahan persoalan. Benarkah demikian?

Perkembangan industri, ekonomi pasar dan daya beli  masyarakat turut mempengaruhi minat terhadap kesenian dan kesusasteraan. Namun Octavio Paz (The Other Voice, Komodo Books, 1991) mengajukan pertanyaan: berapa banyak orang membaca buku puisi, siapa saja yang membaca puisi? Apakah masyarakat memiliki keterlibatan terhadap sastra (literally committed)? Pertanyaan semacam ini berhubungan erat dengan segitiga simbiosis antara sastrawan-masyarakat-perubahan sosial.

Semakin banyak pembaca atau penikmat sastra, maka diharapkan mampu memberi dampak pada perubahan sosial untuk kemaslahatan umat manusia. Melalui karya sastra, seseorang dapat memperoleh kesenangan dan bermacam-macam pandangan filsafat, agama, serta cara pandang terhadap diri sendiri, orang lain, dan Tuhan.

Perkembangan kesusasteraan Indonesia dari zaman ke zaman, angkatan ke angkatan mengalami banyak metamorfosis. Perubahan terjadi karena suasana sosial dan politik yang membawa kegelisahan individual para penyair di setiap masa. Kita simak saja perkembangan puisi sejak zaman Pujangga Baru, hingga Angkatan 45, bahkan yang terakhir, angkatan 2000 yang disusun oleh Korrie Layun Rampan. 

Pada angkatan pujangga baru, puisi-puisi yang berkembang lebih bersifak epik, bahkan semangat nasionalisme dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Puisi pada zaman itu lebih bersifat romantik, individual dan memiliki keterkaitan yang erat dengan situasi politik saat itu. Jarang ditemukan puisi-puisi yang bersifat profetik atau religious. Seiring dengan perjalanan sejarah bangsa, para penyair kemudian menganggap bahwa sajak-sajak perjuangan, semangat  perlawanan terhadap rezim penjajah atau pemerintahan  sudah tidak memiliki fungsi berarti. Maka perlahan-lahan, perubahan karya-karya mereka lebih bersifat sufistik dan ketuhanan.

Karya-karya para penyair pada tahun 1920-1930an memiliki keragaman di luar keseragaman yang tidak (sempat) membuat para kritikus atau pengamat mengkotak-kotakkan setiap karya. Dimulai dengan sajak-sajak Hamka – yang dikenal dengan nama pena Abu Zaid -  yang memiliki adat Sumatra yang kental “adat basandi sara’, sara’ basandi kitabullah”, maka bagi Hamka, sastrawan yang ulama, atau ulama yang sastrawan, setiap syair hendaknya memiliki nasihat, meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Ajip Rosyidi, seusai berhaji, lebih cenderung menulis sajak-sajak keagamaan dan filsafat. 

Ada pula  J.E Tatengkeng, Sitor Situmorang dengan puisi-puisinya yang mengandung ketuhanan Kristen. Melalui Lajar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana memiliki tendenzz literatuur, karangan yang penuh susila, memperhubungkan antara sosial, kemanusiaan dan nasihat-nasihat tentang moral dan ketuhanan, (Ajip Rosyidi, Puisi Indonesia Modern, Balai Pustaka 1989). Pada umumnya, setiap penyair memiliki kegelisahan tersendiri meski pun bersifat temporer (sewaktu-waktu) dalam proses penciptaannya. Tak jarang di antara ratusan karya mereka, terdapat puisi-puisi ketuhanan. Lalu bagaimana dengan angkatan selanjutnya?

Adalah Abdul Hadi WM, penyair asal Sumenep yang memiliki perjalanan kesusasteraannya sendiri. Puisi-puisi yang diciptakannya pada tahun ’70 an lebih bernuansa religious; keIslaman.  Simak saja pada Puisi Mikraj, Muhammad, kutawarkan padamu; jenuh semesta itu…./ diakhiri dengan; …. Marhaban, Kuutus kau/juru selamat (1970)

Bersambung : Resonansi Puisi-Puisi Religius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.