Nyanyian
Pagi
Tak ada cericit burung di huma semayang ini
Kecuali nyanyian pagi menderas jauh di air kali
Perempuan mencuci kutang, rindu pulang ke sarang
Tempat ibu menanam cabe, memasak petis
telur bersantan. Perempuan bermata intan menangis
ingin melupa lelaki jalang dari tualang
sejenak waktu berhenti, cairan najis menepis tanya
“siapa bisa mengajariku menggali surga, demi rahim
masa depan?”
Perempuan itu rindu pulang ke ceruk jelapang
Di kebas angin dari Timur, gugur daun ketapang
Ia menulis takdir di matanya, lubang api meradang
“dosaku teramat banyak, biar kuburku jadi subur.”
Di situ anak-anak membuat taman, bermain ayunan
dan menjadi pengantin berbunga kamboja dan mawar
“Surga
itu rumahku, rumahku!”
Nyanyian sungai pagi hari lebih berisik dari
Perempuan mencuci najis yang rindu pulang
ke pulau seberang, rumah tempat sembahyang
Jati Asih, 2015
Saronen
Serupa mata kanak-kanak, dalam bayang-bayang
Tontonan gong tetabuhan dari pinggir pematang.
Angin menderu dihantui kecemasan tak berbilang
;siapa yang tak ingin
pulang?
Tiba tiba saja senja beranjak buram
Mata-mata meneteskan cerita purba
Tentang barisan penari dan lengking saronen
Sapi sono’ berlaga, orang-orang gembira
dalam keterasingan aku berlumut rindu
di selat Madura, di atas beton Suramadu
kapal-kapal mulai bertambat, suara pelabuhan
tinggal lamat-lamat, melayari sepi yang karam
meski lengking saronen menusuk batas muasalku
Jati Asih, 2015
Pulang Ke Tanah Garam
Dalam keramaian kucium tanah kapur
Berhembus seiring nafas leluhur
Aku pun berjalan meniti kesunyianku
Di rantau, di rantau kerinduanku sebisu
batu
wangi dupa dan mantra tak mampu
membuatku
berlari dari angan angan pulang ke
tanah garam
burung burung bernyanyi, cemara
udang menari
nelayan menjaring ikan, laut
setenang kenangan
Sungai sungai mengalir dari mata air
mataMu
Cahaya pada angan, api yang tak
kunjung padam
Berpagar jarak aku sembunyi dari
kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa
depan
orang-orang sembahyang, suara alam
bertasbih
Anak-anak bermain sapi-sapian,
menghalau kemarau
Hening malam berpijar bulan, hanya
laut berdeburan
;Seribu ciumku untuk mimpi-mimpi
patah
bersama Sloppeng dan pasir putih
usai lebaran
Seketika bulan pergi menggenapi
sepi,
Sedang saronen tetap melengking di
kepala
Aku dan silsilah tetap berpulang
pada amanat
Jati Asih,
2015
Sisa
Kanak kanak
Orang-orang berlalu
lalang dalam keramaian pesta karapan
Kulihat cemara udang di
tepi laut, membungkuk takjub
seperti nasib perawan
saat cinta dan asmara hanya ditulis
atas nama keluhuran
buah surga yang disebut bakti
Kugenggam masa lalu,
ziarah Asta Tinggi
Bersama celoteh bocah
dan musim buah srikaya
Darah leluhur mengaliri
nadi, batu putih,
alun alun, Labang Mesem
berayun-ayun
saat leluhur mengikat
janji lalu “Kun!”
Sepanjang pesisir,
perahu nelayan berbaris
pasir pantai menjejak
langkah semakin ritmis
atas nama jati diri,
dua kaki kini terbelah
kebimbangan meraja.
Petis dan singkong
lumer oleh waktu,
Selain deru karapan dan
asap tembakau
menguar di udara,
bersama suara pecut,
Apa yang tersisa dari
masa lalu, selain silsilah
dan peribahasa. Sedang
hidup seperti berlari cepat
Suramadu menjauhkanku dari jejak leluhur,
serpihan jiwaku yang tercerabut
dari tanah akar,
sesakit luka pada
kenangan yang terbakar.
Jati Asih, 2015
Sisa
Cium di Alun Alun
Suatu masa, angin kesiur di buritan, geladak sesak
Di amis laut, aku menitip kemelut, saat aroma kapal
Potre Koneng dan nafas nelayan tak mampu menguak
perjalanan peradaban, masa lalu ke masa depan
Perahu ikan berbaris-baris menanti jantung gerimis
Jalanan panjang membelah pulau, menuju ujung
Sumenep, tempat leluhur menyimpan jejak hingga
tedas waktu pada takdir bergulir
Karapan, lebaran ketupat membius luka batin
Isak membasah, beban rindu tak pernah usai
Ingatan sisa cium di alun alun, kerap melambai
Kini puisi menelusuri jalan kembali ke kotaku
Aroma kapal dan amis nelayan pudar
Kenangan lantak oleh lampu-lampu jalanan,
Di atas laut, Suramadu menjalar sekokoh takdir
Ingatan pingsan di kepala,
Sepasang pecut melecut kabut di mataku
Jati Asih, 2014
Dimuat 17 Januari 2016
Dimuat 17 Januari 2016
apakah ada kriteria tertentu atau semua puisi bebas di kirim ke jembia bu?
BalasHapusBebas Adang, kirim saja. Kalau lolos editor redaktur bisa dimuat..
BalasHapus