Jumat, 29 April 2016

Puisiku di Jembia Batam Pos



Nyanyian Pagi

Tak ada cericit burung di huma semayang ini
Kecuali nyanyian pagi menderas jauh di air kali
Perempuan mencuci kutang, rindu pulang ke sarang
Tempat ibu menanam cabe, memasak petis
telur bersantan. Perempuan bermata intan menangis
ingin melupa lelaki jalang dari tualang

sejenak waktu berhenti, cairan najis menepis tanya
“siapa bisa mengajariku menggali surga, demi rahim
masa depan?”
Perempuan itu rindu pulang ke ceruk jelapang
Di kebas angin dari Timur, gugur daun ketapang 
Ia menulis takdir di matanya, lubang api meradang
“dosaku teramat banyak, biar kuburku jadi subur.”
Di situ anak-anak membuat taman, bermain ayunan
dan menjadi pengantin berbunga kamboja dan mawar
“Surga itu rumahku, rumahku!”

Nyanyian sungai pagi hari lebih berisik dari
Perempuan mencuci najis yang rindu pulang
ke pulau seberang, rumah tempat sembahyang

Jati Asih, 2015
Saronen

Serupa mata kanak-kanak, dalam bayang-bayang
Tontonan gong tetabuhan dari pinggir pematang.
Angin menderu dihantui kecemasan tak berbilang
;siapa yang tak ingin pulang?

Tiba tiba saja senja beranjak buram
Mata-mata meneteskan cerita purba
Tentang barisan penari dan lengking saronen
Sapi sono’ berlaga, orang-orang gembira

dalam keterasingan aku berlumut rindu
di selat Madura, di atas beton  Suramadu
kapal-kapal mulai bertambat, suara pelabuhan
tinggal lamat-lamat, melayari sepi yang karam
meski lengking saronen menusuk batas muasalku

Jati Asih, 2015

Pulang Ke Tanah Garam

Dalam keramaian kucium tanah kapur
Berhembus seiring nafas leluhur
Aku pun berjalan meniti kesunyianku
Di rantau, di rantau kerinduanku sebisu batu

wangi dupa dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan pulang ke tanah garam
burung burung bernyanyi, cemara udang menari
nelayan menjaring ikan, laut setenang kenangan
Sungai sungai mengalir dari mata air mataMu
Cahaya pada angan, api yang tak kunjung padam

Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
orang-orang sembahyang, suara alam bertasbih
Anak-anak bermain sapi-sapian, menghalau kemarau
Hening malam berpijar bulan, hanya laut berdeburan
;Seribu ciumku untuk mimpi-mimpi patah
bersama Sloppeng dan pasir putih usai lebaran

Seketika bulan pergi menggenapi sepi,
Sedang saronen tetap melengking di kepala
Aku dan silsilah tetap berpulang pada amanat

Jati Asih, 2015

Sisa Kanak kanak

Orang-orang berlalu lalang dalam keramaian pesta karapan
Kulihat cemara udang di tepi laut, membungkuk takjub
seperti nasib perawan saat cinta dan asmara hanya ditulis
atas nama keluhuran buah surga yang disebut bakti

Kugenggam masa lalu, ziarah Asta Tinggi
Bersama celoteh bocah dan musim buah srikaya  
Darah leluhur mengaliri nadi, batu putih,
alun alun, Labang Mesem berayun-ayun
saat leluhur mengikat janji lalu “Kun!”

Sepanjang pesisir, perahu nelayan berbaris
pasir pantai menjejak langkah semakin ritmis
atas nama jati diri, dua kaki kini terbelah
kebimbangan meraja.
Petis dan singkong lumer oleh waktu,
Selain deru karapan dan asap tembakau
menguar di udara, bersama suara pecut,
Apa yang tersisa dari masa lalu, selain silsilah
dan peribahasa. Sedang hidup seperti berlari cepat
Suramadu  menjauhkanku dari jejak leluhur,
serpihan jiwaku yang tercerabut dari tanah akar,
sesakit luka pada kenangan yang terbakar.

Jati Asih, 2015

Sisa Cium di Alun Alun

Suatu masa, angin kesiur di buritan, geladak sesak
Di amis laut, aku menitip kemelut, saat aroma kapal
Potre Koneng dan nafas nelayan tak mampu menguak
perjalanan peradaban, masa lalu ke masa depan

Perahu ikan berbaris-baris menanti jantung gerimis
Jalanan panjang membelah pulau, menuju ujung
Sumenep, tempat leluhur menyimpan jejak hingga
tedas waktu pada takdir bergulir

Karapan, lebaran ketupat membius luka batin
Isak membasah, beban rindu tak pernah usai
Ingatan sisa cium di alun alun, kerap melambai

Kini puisi menelusuri jalan kembali ke kotaku
Aroma kapal dan amis nelayan pudar
Kenangan lantak oleh  lampu-lampu jalanan,
Di atas laut, Suramadu menjalar sekokoh takdir
Ingatan pingsan di kepala,
Sepasang pecut melecut kabut di mataku

Jati Asih, 2014


Dimuat 17 Januari 2016

2 komentar:

  1. apakah ada kriteria tertentu atau semua puisi bebas di kirim ke jembia bu?

    BalasHapus
  2. Bebas Adang, kirim saja. Kalau lolos editor redaktur bisa dimuat..

    BalasHapus

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.