Rabu, 17 Agustus 2016

Sekilas Weni Suryandari

Weni Suryandari
Weni Suryandari: Perempuan berdarah asli Sumenep, lahir di Surabaya 4 Februari. Sehari-harinya ia bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di SD Generasi Azkia, Bojongkulur, Bogor. 

Menulis baginya adalah laksana mengalirkan seluruh kegelisahan yang tak bisa dibahasakan secara lisan. Dua pertiga waktu yang ada dalam satu hari dipergunakan untuk profesinya sebagai guru dengan segala aktivitas yang mewajibkannya secara profesi. 

Sisa waktu yang ada kemudian dipakainya untuk menulis, baik cerpen ataupun puisi. KABIN PATEH adalah sebuah buku kumpulan cerpen pertamanya yang diterbitkan oleh QAF Books, 2013. Penulis pernah memenangkan kategori terpuji dalam sebuah sayembara novelet di Tabloid Nyata tahun 2008, lewat judul “Kesetiaan Seorang Sri”. 

Karya cerpennya juga termuat dalam Antologi Cerpen Tinta Wanita 24 Sauh (Esensi Erlangga). Karya-karya cerpen lainnya terbit di berbagai media cetak, seperti Suara Karya, Majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Tabloid Nova, Jurnal Nasional, dll. Puisi-puisinya dimuat di Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Indopos, Batam Pos, Suara Karya, Suara Merdeka, Suara Merapi, Padang Ekspress, Story Magazine dan berbagai antologi bersama terbitan KosaKataKita; Perempuan Dalam Sajak, Fiksi Mini, Kartini 2012, Kitab Radja dan Ratoe Alit, Antologi Puisi Titik Temu (Komunitas Kampoeng Jerami), Antologi puisi 6 th Sastra Reboan, Kumpulan Puisi 6 tahun Majelis Sastra Bandung, dan lain lain. Selain itu penulis juga telah menerbitkan beberapa buku antologi puisi, antara lain: Merah Yang Meremah (2010), Perempuan dalam Sajak (2010), Kartini 2012 (2012), Antologi Angkatan Kosong-kosong (Dewan Kesenian Tegal, 2011), Kitab Radja dan Ratoe Alit (KKK, 2011), dan Beranda Senja (2010). Cerpen dan Puisinya juga termuat dalam Antologi 3 Tahun Komunitas Sastra Reboan (2010) dan Cinta Gugat (Antologi Puisi Sastra Reboan, 2013)[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.