Puisiku di Harian Suara Merdeka
Tanah Kita
Nak, di matamu yang cekung
Ibu melihat lambung kosong
Kini kita seperti boneka, ditelan angka
Sejengkal demi sejengkal, tanah ini
bukan milik kita!
Mei 2014
Tanah Tuan
Seperti yang kubisikkan di telingamu, pada musim lalu
Pesta pora hanya sebatas kata-kata, seperti teriakan pemuda
Yang terinjak tiang baliho dan matanya yang berbicara
Tentang perut negeri tempat anak-anak bermain ayunan, tertawa
Sambil membawa buku-buku kusam dan pensil setengah tajam
Kini bumi telanjang, kita saksikan tarian kering bersama
anak-anak kehidupan yang menangis di pojok peradaban
Tanah, pohon, sawah, kebun, hanya menghuni dalam diam
di dada kenangan. Setiap tetes airmata mencipta ceruk dada
dan tanya: siapakah pemilik sah negeri ini?
Kini penguasa seperti malaikat, kita menjadi angka-angka
demi kebanggaan yang disebut keadilan.
Tanah dirampas, kita terhempas, orang-orang tergilas
Laut, angin di pantai mencipta ombak menderu-deru serupa
jerit pilu di empat penjuru langit. Kita cuma menghitung
jatah, kalender gugur satu-satu. Lalu bumi bersaksi demi
darah terkubur bersama bangkai matahari dan ari ari
2014
Puisi dan Aku
Perjalanan mendaki pada bukit sempit
terjatuh, mendaki lagi dengan membawa
risalah pendosa di dada
Lalu kunikmati biola mengalun,
Bercinta dengan fatwa pujangga,
penyair kesepian di jalan Tuhan,
saat kata-kata berpendaran,
menyentuh kesadaran
pada Nietsche, pengetahuan adalah pintu
pembuktian akal bagi semesta
pada Rimbaud, kegelisahan adalah opera
kehidupan dari neraka
pada Jenar, sabda pandita adalah cerita
hakikat dan makrifat, ketuhanan
Sedang padaku, perjalanan tetap menjadi tanya
seperti pengembara lara di rimba belantara
Februari 2014
Anak Anak Masa Depan
Aku bukan ras terakhir dari peradaban tua
Rapuh ditelan bulan, bayangbayang musim kawin
Santapan syahwat yang menagih percik embun malam
Sedang kesucian tetap hidup di jantung Maria
Kudengar angin menyeret tawa dari Utara
Sedang tubuhku menelan kemelut zaman tanpa ibu
meresap serupa tanah, akar dan pohon kepada air
Kudengar tangis anak anak selokan menagih susu
bukan nyanyian peri, menghibur hati yang pasi
Inilah percintaan Timur dan Barat berjumpa di kepala
Bergulir peradaban, jutaan aku tenggelam dalam tangis
di lubang nyawa, sedang anak anak rahim,
kehilangan bapak kehidupan
Aku bukan ras terakhir dari peradaban pincang
Tapi berjalan tegak, memberi payung pada
anak anak masa depan
2014
Dimuat di Suara Merdeka, 12 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar