Sabtu, 27 Agustus 2016

Pungli

Cerpen Weni Suryandari

KANTOR kecamatan tampak suram. Gedung bercat abu-abu tersebut berdebu. Maklum, kantor tersebut dilewati oleh kendaraan-kendaraan besar. Sebagiannya adalah truk-truk pengangkut semen dari sebuah pabrik semen di wilayah itu. Belum lagi pabrik-pabrik lain yang berdiri di sekitarnya. Pasar yang riuh rendah, jalanan yang penuh lubang. Menjadi kubangan lumpur jika musim penghujan, menjadi sumber debu jika musim kemarau.

Beberapa pegawai kecamatan berseragam sipil tampak duduk-duduk di beberapa meja. Sebagian duduk di belakang meja bagian dalam, merokok atau mengobrol. Aroma kopi dan bau asap rokok menebar. Seorang yang duduk di pojok sedang makan nasi bungkus. Mungkin sedang sarapan. Seperti ada sesuatu yang ditunggu-tunggu.

“Silakan, Bu. Silakan, Pak. Di aula atas ruang pertemuannya,” seru seseorang berkumis dengan logat Sunda yang khas. Ia baru saja turun dari lantai atas, menyambut kedatangan para undangan. Guru-guru dari berbagai sekolah sewilayah kecamatan.

Undangan yang berdatangan secara rombongan segera melewati tangga menuju sebuah ruang yang disebut aula. Cukup besar untuk menampung seratus lima puluh orang. Kursi-kursi berjajar. Separuhnya dipenuhi undangan guru-guru yang tersebar dari berbagai sekolah. Jadwal undangan satu setengah jam terlambat, namun acara belum juga dimulai. Bisa dimaklumi sebab saat itu adalah jadwal hari mengajar. Bukan hari libur. Tentu berat meninggalkan tugas mengajar. Murid-murid akan terlantar.

“Bapak-bapak dan Ibu-Ibu guru yang kami hormati. Kita tunggu lima belas menit lagi ya. Sampai terpenuhi tiga perempat kursi, kita mulai.”

Bapak berkumis yang menemui rombongan guru-guru di tangga membuat pengumuman melalui pengeras suara. Di baju bagian dada kirinya terpasang emblem bertuliskan Asep Saepudin.

Para guru pun menunggu dengan sabar. Pertemuan seperti ini selalu terjadi jika Dinas Pendidikan Kecamatan memanggil guru-guru peserta sertifikasi. Entah untuk urusan penyuluhan, atau pengumpulan berkas. Selalu jam karet. Akhirnya seperti ajang silaturahmi antar guru guru sekolah, baik swasta maupun negeri. Bocoran tentang gaji, tunjangan di masing-masing sekolah atau yayasan kerap merebak. Semua bervariasi, jumlahnya tidak sama.

Penampilan para guru, bahasa tubuh, cara berbicara, semuanya beragam. Beberapa guru dari sekolah negeri berseragam coklat sipil tampak berpenampilan sederhana. Terlihat dari bahasa tubuh dan cara berbicara. Di antaranya bahkan tampak berusia lebih dari separuh abad. Sebagian hanya berpendidikan SPG, diploma, atau mengikuti pelatihan-pelatihan profesi dari dinas terkait. Masa kerja yang telah puluhan tahun dijalani tentu membuahkan hasil. Sementara guru-guru dari sekolah swasta berpenampilan lebih baik, cara berbicara dan bahasa tubuhnya pun demikian. Semua guru-guru sekolah swasta adalah sarjana, baik dari universitas negeri ternama, ataupun swasta. Masa kerja mereka pun lumayan lama, banyak yang lebih dari sepuluh tahun.

“Assalamu’alaikum. Selamat pagi, salam sejahtera! Bapak dan Ibu pencerdas kehidupan bangsa! Guru-guru super, guru-guru berbakti pada bangsa dan negara,” Pak Asep membuka acara. Rupanya hampir semua kursi terisi. Serentak suasana menjadi hening. Acara dimulai.

Beberapa petugas, mungkin kepala bagian atau kepala seksi yang berkepentingan ikut duduk di deretan pembicara atau petugas. Tumpukan map yang berisi sertifikat profesi guru telah tersedia. Untuk itulah semua guru diundang. Meski sebenarnya bisa saja diwakilkan oleh satu orang saja dari satu sekolah untuk mengambilnya. Lantaran dari satu sekolah ada banyak guru, mungkin belasan yang mendapatkan sertifikat guru dari Diknas.

“Bapak-bapak dan Ibu Guru, Syukur Alhamdulillah, telah selesailah semua persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Setelah melalui rangkaian proses dari mulai pemberkasan, uji kompetensi, hingga pelatihan yang diselenggarakan secara bertahap. Kini saatnya Bapak Ibu sekalian mendapatkan sertifikat guru professional dari Menteri Pendidikan. Senang, kan?”

“Senaaaaaang!”
“Tepuk tangan dulu, untuk kita semua!”
Tepuk tangan membahana.
“Nah, begitu dong! Jangan cemberut lagi, jangan mengeluh lagi. Jangan suka protes, jangan suka bikin gossip di luaran. Padahal semua kan demi kepentingan Bapak-bapak dan Ibu-ibu guru…?“ kekehnya. Beberapa guru menggerutu di sana sini. Sesekali tawa kecil terdengar.
“Kami percaya, Bapak dan Ibu guru yang hadir di sini adalah orang-orang cerdas. Cerdas!”
“Kok kita jadi seperti orang bodoh? Sialan tuh Bapak Asep?!” seorang guru perempuan menggerutu. Diaminkan oleh guru-guru di sekitarnya.
“Ayo jawab, cerdas bukan?”
“Cerdaaaaaasss!” Deretan kursi depan agaknya tak ingin terlihat tanpa reaksi. Bagaimanapun wajah-wajah mereka pasti terlihat jelas dari meja pembicara.
“Sialan, mau apa sih? Bicaranya berputar-putar,” bisik seorang bapak berbaju batik dan berkopiah yang duduk di deretan tengah paling kiri.
“Kita tunggu saja. Pungutan apalagi yang diminta!” seru seorang lainnya berbisik-bisik
“Cerdas, kan? Sudah bisa mengetahui informasi dan mendatangi Bank untuk meminta nomor rekening? Padahal kami pun belum tahu informasi itu dari dinas pusat!”

Semua terdiam.

“Nah, begitu dong! Bapak dan Ibu cerdas, karena sudah bisa membuka internet, sudah bisa mencari-cari informasi, sudah tahu lebih dulu informasi sertifikasi yang bahkan kami pun di kecamatan belum tahu apa-apa! Bapak dan Ibu yang cerdas-cerdas inilah yang sering memberitahukan info dari dinas pusat. Hebat kan? Cerdas, itu namanya!”

Beberapa guru bersungut-sungut. Beberapa lainnya ada yang tergelak tertahan. Ada juga yang diam menegang, ada juga yang hanya memperhatikan wajah-wajah setiap guru yang hadir.

“Jadi begini, Bapak, Ibu. Saya yakin, Bapak dan Ibu semua mengerti maksud saya. Sertifikat ini tidak turun sendiri dari langit Bu, Pak! Kami yang mengusulkan nama-namanya, kami yang mengurusnya. Paham?“
“Pasti minta duit lagi! Gila tuh Bapak!” gerutu seorang guru perempuan di pojok kanan. Orang-orang sekitarnya mengangguk-angguk setuju.
“Jadi… oleh sebab itu, saling pengertian sajalah, nanti biar dikoordinasi oleh seorang perwakilan, berapa ‘sukarela’-nya. Kan Bapak-Ibu mau dapat uang banyak nih? Nah, ya saling tahu saja. Sebab kami yang mengurusnya, kan?”
Sekonyong-konyong seorang petugas berseragam sipil juga muncul dan melangkah cepat ke depan podium, membisik-bisikkan sesuatu pada Pak Asep. Lalu kembali secepatnya menuju pengeras suara. Mikrofon segera dimatikan.
“Aduh! Hehehe saya lupa! Nanti kalau omongan saya direkam wartawan, kalau ada wartawan yang hadir, nama kecamatan kita jadi jelek!”
Undangan yang hadir tak tahan tergelak juga. Gelak tawa mereka bercampur seringai ejekan membahana di ruangan itu. Wajah Pak Asep merah padam. Ia menahan malu.
“Bodoh itu orang! Bicara begitu kok terang-terangan. Kita kan ‘cerdas’? Hahaha!” seorang guru yang duduk di sudut dekat jendela terpingkal-pingkal. Guru-guru di sekitarnya ikut tertawa.
Mimbar diambil alih oleh seseorang lainnya. Seorang yang agak tua, berpostur setengah gemuk, berkepala botak. Ia segera berbicara lantang tanpa menggunakan mikrofon.
“Nah, Ibu, Bapak. Dari segi kurikulum, kita akan menjalani kurikulum 2013. Jadi suka atau tidak suka, tidak bisa protes. Kurikulum 2013 harus segera dilaksanakan implementasinya mulai tahun ajaran baru nanti. Nah, jangan kuatir. Nanti saya sebagai Kabid Kurikulum akan memberi pengarahan-pengarahan terkait dengan pelaksanaannya di sekolah.“

Guru-guru terdiam. Hening suasana karena mulai membicarakan kurikulum baru. Sedangkan pelatihan profesi guru baru-baru ini masih menggunakan kurikulum lama.

“Nah, undangan pada hari ini adalah untuk pengambilan sertifikat dan pemberitahuan tentang pelaksanaan kurikulum baru nanti. Ke depannya, kami harapkan terjalin saling pengertian. Jadi tidak ada lagi isu yang beredar di pusat, orang-orang di kantor kecamatan ini paling sering melakukan pungutan-pungutan, atau pemerasan terhadap guru-guru yang akan memperoleh sertifikasi. Tidak ada bukti kan? Kami tidak memungut apapun. Hanya TST sajalah.“

Gemuruh suara hadirin terdengar lagi. Tawa-tawa kecil, umpatan, gerutuan menggema perlahan.

“Sudah, sudah! Sekarang langsung saja ya! Silakan dipilih satu orang koordinator perwakilan setiap unit pendidikan, SD, SMP, SMK dan SMA. Nanti silakan diinformasikan melalui koordinatornya saja. Biar cepat ya Pak, Bu! Sebentar lagi kita mau Jum’atan!”
Para guru kebingungan, menoleh sana-sini. Sebagian masih belum mengerti “informasi” apa. Bukankah telah ada tumpukan sertifikat yang semestinya sejak tadi siap untuk dibagikan? Tak berapa lama kemudian, beberapa nama muncul, sesuai dengan panggilan unit pendidikan. Nama dan nomor telepon mereka dicatat.
“Bukankah sertifikat sudah siap? Info apalagi sih?” seru beberapa orang begitu sinis.
“Biasa, kalau bukan soal uang patungan, apalagi?” jawab yang lain.
“Maksudnya? Kita suruh mengumpulkan uang lagi?” tanya seorang perempuan berbaju stelan blazer hitam. Wajahnya lugu.
“Iyalah Bu! Kan biasa! Dari sejak pemberkasan, pengambilan formulir A0, A1, sampai keluarnya kartu peserta ujian selalu minta uang. Belum lagi waktu supervisi nanti. Teman-teman di sekolah saya yang sudah lebih dulu mendapat tunjangan kan selalu dimintai uang, biar laporannya bagus.”
“Astaghfirullah! Gaji mereka buat apa? Bukankah mereka digaji untuk mengerjakan itu?”
“Ya biasa Bu! Begitulah kalau berurusan dengan birokrasi.”
“Sama dengan berurusan dengan aparat! Hahaha!” seorang Bapak berkepala plontos dan kurus menyahut.
“Kelakuan aparat biar bisa beli Alphard! Hahaha,” disambut oleh tawa lainnya.
Beberapa guru berkumpul sesuai unit pendidikan. Rembugan pun berlangsung. Ada yang memakan waktu lama, tentu perundingan begitu alot. Ada yang sangat cepat meski anggotanya sedikit. Masing masing menerapkan jumlah yang disepakati bersama. Uang-uang kertas biru dan merah berseliweran dari tangan ke tangan. Berkumpul di tangan satu orang koordinator. Masing-masing koordinator sibuk mencari amplop putih kosong.
Menjelang acara berakhir, suara-suara dari mikrofon terdengar lagi.

“Ibu-Ibu! Bapak-bapak! Acara belum kita tutup. Duduk dulu! Mari kita tutup dengan hamdalah, semoga keikhlasan saudara sekalian akan memperlancar rezeki Bapak-Ibu semua!“

Tak ada yang duduk kembali mendengarkan. Semua hadirin sibuk hilir-mudik, sibuk mencari teman sejawat, kolega yang akan pulang bersama. Serentak rombongan demi rombongan menuruni tangga. Di ruang bawah tangga, beberapa orang pegawai dinas duduk-duduk di meja, berjajar tersenyum penuh kemenangan.

“Amit-amit! Makan tuh duit haram! Pungli di negeri ini belum hilang! Mental aparat bobrok semua. Dasar rakus, sudah menjadi pekerjaannya mengurusi guru, masih juga minta-minta duit guru! Rakus! Amit-amit! Jangan sampai anak-anakku bermental begitu! Puihhh!”

Suara-suara gerutuan terdengar pelan, bisik-bisik, lama-lama memudar. Kantor hening. Pegawai-pegawai berseragam sipil dengan tatapan dingin duduk-duduk, tersenyum, merokok, melamun, minum kopi. Senyum kemenangan.[]

Januari 2013

Cerpen diatas terkumpulan dalam buku kumpulan cerpen "Kabin Pateh" 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.