Sabtu, 12 Desember 2015

Puisi Weni Suryandari di Suara Merapi


Hujan dan Perjalanan

Hujan lah yang turun dihamparan bumi
Pohon-pohon tersenyum, kemarau tenggelam
Jalanan kini basah, merendam jejak-jejak kata
Bersama waktu di punggungku, mencipta cerita
dari rekahan bianglala perjalanan

Diam diam kunyalakan doa-doa bersama
keheningan dilangit merah jambu selama
tujuh purnama hingga kesat dada

Barangkali kelak di jantungku ada sebuah puisi
Berwarna matahari membakar waktu
Antara keangkuhan dan kesangsian yang
Gemetar menerima kitab persaksian

2015

Birahi Sepucuk Batang

Seorang gadis kecil berlari, tubuhnya getas
seperti batang padi dilalap api. Matahari cemas
menjilat ubun nasibnya dan rambut sewarna emas
Sepotong kue dalam genggaman, wajah emak
dalam kepala, sedang merebus batu dari pelepah duka
“Emak, lihatlah!Aku membawa umpan bagi senyummu”

Seorang perempuan tua menghitung uban
Menatap langit sekosong mata, seekor anjing melolong
Gadis kecil sodorkan kue umpan di tangan
Tuan pergi berabad jarak, tinggal anjing dan emak
“Tuan sudah mati di dadaku."

Gadis kecil berjingkat, pohon pohon tangis
tumbuh layu di kepalanya. Ia berbisik perih
“Tuhan, jangan biarkan aku dimakan gergasi, disini
tidak ada laki-laki. Hanya ada satu anjing setia.”

Seorang lelaki terkapar oleh matanya yang lapar
Tentang birahi pada sepucuk batang

2015

Rumah Asap

Aku menyaksikan orang orang berlaga
Mengundi keriangan nasib di tangan langit
Sedang udara bertirai asap, hanya sejengkal
pandang, tubuhmu lesap, ditelan kegelapan
Serupa pemabuk kehilangan impian kosong
Suara anjing tak henti melolong terdengar
lebih ngawur dari kelamin hilang batas.

Sementara orang orang berdoa di jantung sendiri
merapal mantra yang dibaca angin, mencari
peta perjalanan yang hinggap di atap musim padi.
Hutan kian nestapa, kita menyetubuhi kabut
Sambil menguji kekuatan, siapa akan kalah?

Orang-orang itu menyalakan api di wajah zaman
Hujan membeku dalam kemarahan parah, sebuah
perjanjian melahirkan kematian demi kematian
kita kian lelah pada kekejaman

Kemarilah anakku, kelak akan kau ceritakan
Tentang sebuah rumah asap, tempat kita bernafas
Yang pernah ada dalam perjalanan sejarah
dan air mata sekadar tempat bersuara

2015

Tentang Suatu Senja
            ;Sriwedari

Matahari menampung rindu  yang  kental
Membawa setiap degup pada kata bernyawa
Debur dada pada senyum kota harum batik
Senja berlapis-lapis, meninggalkan siluet diri

Kutulis puisi dari jalanan dan ruang abstrak
Tentang hidup dan kematian yang menombak
kegelisahan, Sriwedari melawan ingatan.
aku jumpalitan, kesunyian berpendaran
dimatamu, hanguskan musim kelam

Demi waktu yang memukulku dari mabuk dunia
Kukisahkan tentang ajaran pusaka adiluhung
dari lontar babad tanah Jawa
Sejarah yang menghimpun kita dalam
jalan  panjang  peradaban

2014

15 November 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.