Hujan
dan Perjalanan
Hujan lah yang turun dihamparan bumi
Pohon-pohon tersenyum, kemarau tenggelam
Jalanan kini basah, merendam jejak-jejak kata
Bersama waktu di punggungku, mencipta cerita
dari rekahan bianglala perjalanan
Diam diam kunyalakan doa-doa bersama
keheningan dilangit merah jambu selama
tujuh purnama hingga kesat dada
Barangkali kelak di jantungku ada sebuah puisi
Berwarna matahari membakar waktu
Antara keangkuhan dan kesangsian yang
Gemetar menerima kitab persaksian
2015
Birahi
Sepucuk Batang
Seorang gadis kecil berlari, tubuhnya getas
seperti batang padi dilalap api. Matahari cemas
menjilat ubun nasibnya dan rambut sewarna emas
Sepotong kue dalam genggaman, wajah emak
dalam kepala, sedang merebus batu dari pelepah duka
“Emak, lihatlah!Aku membawa umpan bagi senyummu”
Seorang perempuan tua menghitung uban
Menatap langit sekosong mata, seekor anjing melolong
Gadis kecil sodorkan kue umpan di tangan
Tuan pergi berabad jarak, tinggal anjing dan emak
“Tuan sudah mati di dadaku."
Gadis kecil berjingkat, pohon pohon tangis
tumbuh layu di kepalanya. Ia berbisik perih
“Tuhan, jangan biarkan aku dimakan gergasi, disini
tidak ada laki-laki. Hanya ada satu anjing setia.”
Seorang lelaki terkapar oleh matanya
yang lapar
Tentang birahi pada sepucuk batang
2015
Rumah
Asap
Aku menyaksikan orang orang berlaga
Mengundi keriangan nasib di tangan langit
Sedang udara bertirai asap, hanya sejengkal
pandang, tubuhmu lesap, ditelan kegelapan
Serupa pemabuk kehilangan impian kosong
Suara anjing tak henti melolong terdengar
lebih ngawur dari kelamin hilang batas.
Sementara orang orang berdoa di jantung sendiri
merapal mantra yang dibaca angin, mencari
peta perjalanan yang hinggap di atap musim padi.
Hutan kian nestapa, kita menyetubuhi kabut
Sambil menguji kekuatan, siapa akan kalah?
Orang-orang itu menyalakan api di wajah zaman
Hujan membeku dalam kemarahan parah, sebuah
perjanjian melahirkan kematian demi kematian
kita kian lelah pada kekejaman
Kemarilah anakku, kelak akan kau ceritakan
Tentang sebuah rumah asap, tempat kita bernafas
Yang pernah ada dalam perjalanan sejarah
dan air mata sekadar tempat bersuara
2015
Tentang
Suatu Senja
;Sriwedari
Matahari menampung rindu yang kental
Membawa setiap degup pada kata bernyawa
Debur dada pada senyum kota harum batik
Senja berlapis-lapis, meninggalkan siluet diri
Kutulis puisi dari jalanan dan ruang abstrak
Tentang hidup dan kematian yang menombak
kegelisahan, Sriwedari melawan ingatan.
aku jumpalitan, kesunyian berpendaran
dimatamu, hanguskan musim kelam
Demi waktu yang memukulku dari mabuk dunia
Kukisahkan tentang ajaran pusaka adiluhung
dari lontar babad tanah Jawa
Sejarah yang menghimpun kita dalam
jalan panjang peradaban
2014
15 November 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar