Sabtu, 12 Desember 2015

Puisi Weni Suryandari di Suara Karya II

Laut I

Dari matamu yang sabit, aku benci kehilangan
Sebab di sana tersimpan makna kata dan tatapan
Sedang  pantai beraroma mawar, kabut pun menebar
malam malam pertemuan sekokoh mercusuar

Seketika bulan pun kalah, sebab matamu lebih nyala dari sepi
di waktu waktu kelam yang meletih, tubuhku kian pipih

Laut kenangan meruncing di ujung karang, pecah
berderaian, menembus jantungku


2015

Laut II

Kubuka mataku, berlayarlah padaku
Saat angin dan ombak bermain di bawah bulan
dan pepohonan tinggal menunggu bayang bayang
bibirku beku, sedang laut mengalun tenang

aku melihat orang orang gelisah menunggu
garis nasib pada perut dan harapan yang tak surut
Pengangguran menjadi angka harmonis bagi kemiskinan
Bendera lupa pada slogan, kita cuma diam

Berlayarlah di mataku, akan kau selami samudera
dan riwayat karang dari anyir perjalanan getir
Di sana akan kau temui cahaya kebijaksanaan
Tentang hidup dan maut sebagai ampas ruhani bagi usia
dijerat lalai bagi pesta penjilat yang tak pernah usai


Kubuka mataku, berlayarlah padaku
Akan kukecup kerinduan di bawah bulan
Perahu Khidr menelan pengkhianatan
Hingga tenggelam pada surga penghabisan

2015



Laut III

Bulan tipis, ombak berbaris ritmis
Ikan ikan melompat  di riak kenangan
Ada yang basah di mataku, bayangmu
bermain begitu manis

Meski telah kucipta jarak memanjang
Kemana pun memandang, hanya  wajahmu
Sebab yang kekal hanya tinggal luka
tak dapat kubandingkan sakit semesta

Malam ini kelomang pulang ke sarang
Daun daun nyiur pantai lembut bergoyang
Tangisku aduh, di lepas laut tak habis habis

Bulan tetap tipis, menajam di bola mataku
Menjelma hujan deras, laut mengganas
; namun usia hanya tinggal ampas

2015

Rindu I

Sepanjang jalan
Bulan berkabut  pilu
Menggiring rindu
Kenangan menyergap
Pada mata basah
jantungku pecah

2015

Dimuat 12 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.