Minggu, 17 Januari 2016

“Perkenalkan, Namaku Madura!” Ucap Karapan Laut

Weni Suryandari

Esai Pengantar Diskusi

Masyarakat Indonesia yang majemuk ini telah cukup lama disuguhi tontonan dan tuntunan yang “tidak” menuntun. Setiap bentuk media penyebaran informasi masih belum menuntun kehidupan masyarakat Indonesia ke dalam situasi kecintaan terhadap budaya lokal baik ditinjau secara historis maupun geografis. Lalu bagaimana peranan penulis, sastrawan (baca:cerpenis) sebagai pengarang untuk menuntun masyarakat kita ke dalam pengentalan dan pengenalan sosiokultur setiap wilayah dan suku yang memiliki kedalaman karakter dan kehidupan masyarakat yang masing-masing tentu memiliki keunikan tersendiri.

Kini, pasca era kebebasan pers, masyarakat Indonesia penggemar sastra boleh memiliki ruang bernafas yang lebih segar dengan membaca cerpen-cerpen yang terbit setiap Sabtu atau Minggu. Terlepas dari aliran dan ragam cerpen yang mengemuka, di antara para cerpenis Indonesia kontemporer  yang memiliki keseriusan dalam menggarap tema-tema cerita yang bernuansa lokalitas, adalah cerpenis Madura, Mahwi Air Tawar. Ketekunannya menggarap tema cerpen dengan menggali adat budaya masyarakat lokal Madura secara kental dan kuat sampai sejauh ini ukup memberikan harapan akan terobosan pengenalan budaya pada publik.

Cerpen Kearifan Lokal; populis atau idealis?

Kearifan berasal dari kata arif yang berarti bijaksana, dan lokal yang berarti menunjukkan suatu tempat, wilayah. Dalam istilah bahasa Inggris mungkin disebut dengan local wisdom. Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperlakukan bukan sekadar latar an sich, melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks (Maman S Mahayana). Untuk itulah maka sastra diperlukan untuk menafsirkan setiap situasi budaya dan sosial sebuah wilayah kepada khalayak.

Sastrawan  Madura ini cukup produktif  mengungkap sisi-sisi sosiokultural penduduk pesisir Madura dengan segala mobilitasnya; melaut, mengaji di surau, berkumpul dan melaksanakan ritual yang masih diwarnai dengan unsur magis.  Mahwi menuturkan dengan jelas karakter dan ritual magis dalam setiap cerita.  Masyarakat Madura masih mempercayai kekuatan magis, dengan melakukan berbagai macam ritual dan ritual tersebut memberikan peranan yang penting dalam pelaksanaan kehidupan masyarakat Madura.  (M. Taufiqurrahman, Islam dan Budaya Madura)

Cerpen Mahwi cukup kuat dalam mendeskripsikan  karakter  tokoh dan penajaman konflik.  Terbaca dari penggunaan istilah atau nama-nama sebutan bahasa Madura yang dijadikan nama tokohnya. Sebagai misal Tanean—adalah nama seorang tokoh dalam cerpen Kuburan Garam (hal. 59), yang sebenarnya berasal dari istilah tanēyan lanjhang (halaman panjang), biasanya terdiri dari lima atau lebih rumah saling berhadap-hadapan sebagai sebuah kelompok yang biasanya dihuni kerabat dekat (satu ibu) diantara para penghuni rumah-rumah tersebut. Ada pula tokoh Tanglebun yang berarti sarangku (dalam artian rumahku) terdapat dalam cerpen Tubuh Laut (hal.17), sebagai tokoh dengan perwatakan seorang kaya yang sombong, serakah, memperkaya diri dan keras kepala. Begitu pula upacara Nyadar  yang merupakan ritual persembahan yang sepenuhnya merupakan upacara adat budaya, bukan agama.

Mengutip pendapat Maman S Mahayana, bahwa lokalitas merupakan ruang kultural yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Dari sisi ini, maka cerpen dengan nuansa lokalitas di tangan Mahwi menjadi begitu ideal, artinya penulis sangat berupaya mengetengahkan sebuah gambaran sosial budaya penduduk lokal pesisir Madura secara apa adanya dan utuh ke tengah publik.

Madura Memotret Madura

Ketakziman masyarakat Madura pada sosok Kyai atau tokoh agama yang disegani memang berurat berakar. Namun tak jarang dalam sebagian cerita yang dituturkan Mahwi menunjukkan adanya ketimpangan moral dalam jalinan struktur sosial masyarakat pesisir. Seperti dalam Kuburan Garam, seorang kuncen kuburan bernama Suwakram yang disegani dan kukuh menjaga kewibawaan cungkup Syeh Anggasuto seorang penemu tanah garam yang dikeramatkan. Cerita berakhir ketika Suwakram yang memimpin doa tiba-tiba mengaum dan rebah, tanpa penjelasan tentang penyebabnya. Padahal hanya lantaran mendengar Tanean berteriak tentang hantu. Di sini pembaca diajak menduga-duga, apakah Suwakram penganut ilmu hitam (disebabkan begitu miskinnya hingga tak sanggup membeli cat rumah baru untuk upacara nyadar) yang menyamar menjadi tokoh kuncen penjaga cungkup yang senantiasa diaminkan oleh pengunjung untuk setiap doa-doanya. 

Cerita lainnya juga mengenai Kiaji Subang dalam Letre’ yang hendak menikahi seorang tandak (pesinden). Tak ayal istrinya, mendatangi seorang dukun, Nyai Makeler untuk melakukan ritual mencegah poligami dengan cara yang sebenarnya tak dibenarkan secara Islam. Begitu pun pada kisah Sapi Sono’, Rattin (berarti; cantik) seekor sapi sono’ disetubuhi oleh musuh utama Santap,  Madrusin di kandangnya dan disaksikan oleh Dulakkap, dukun penjaga yang disewa Santap dalam kontes sapi sono’. Hal yang sangat absurd dan seakan membuat kita terbelalak, mungkinkah di Madura yang kental dengan ajaran agama dan ritual kebijaksanaan melakukan perbuatan janggal tersebut? Sekali lagi, ini dikisahkan oleh seorang Mahwi Air Tawar, cerpenis Madura yang menceritakan tentang Madura.

Gaya penceritaan Mahwi berirama cepat, konflik yang keras, kejam dan tajam semacam perilaku carok (untuk membela kehormatan) pun dituturkan dalam hampir semua cerpennya. Sosok laki-laki digambarkan kasar, sosok perempuan digambarkan sebagai sosok penurut, tak mampu melawan kesewenangan suami. Begitu pun gembaran perbuatan nyenok (melacur) terbiasa dilakukan oleh nelayan-nelayan pesisir. Senok (pelacur) secara diam-diam juga berkeliaran dengan menyambi sebagai bindring (tukang kredit keliling). Barangkali karena sebab masyarakat Madura mengagungkan ajaran agama (Islam), maka tak ada lokalisasi senok  di sana (?). Pertanyaan ini hanya mampu dijawab oleh penulisnya.

Berbicara suku Madura dengan karakter khasnya, ingatan kita tentu tak lupa pada peristiwa “babunuhan” yang mengerikan saat perang antar suku Dayak di Sampit,  Kalimantan. Peristiwa percintaan atau perkawinan antara orang Madura dengan orang Kalimantan cukup menjadi isu nasional kala itu. Situasi politik kesukuan di Sampit menyebabkan konflik psikologis yang menyedihkan, saat seseorang, atas nama cinta, mesti menyembunyikan identitasnya sebagai orang Madura, atau orang Dayak (suami-istri). Bahkan dengan tragisnya tedapat dialog Tarebung “Kita tak akan ke Madura, Dik.” Pada Ne’ Tantri. “Tak ada tempat tinggal.”, sebuah dialog yang tragis di akhir cerita.

Terlepas dari apakah kisah-kisah yang dituturkan merupakan gambaran umum tentang kondisi sosial budaya masyarakat pesisir Madura, Mahwi memiliki keberanian dalam mengungkap sisi-sisi gelap kehidupan masyarakat pesisir Madura, bukan semata-mata menggambarkan kebijaksanaan religius yang umumnya dianggap melekat dalam karakter masyarakat Madura oleh orang-orang luar Madura.
Karapan Laut menggambarkan Madura dengan sangat kental, tanpa menarik ulur cerita atau mempertemukan kearifan lokal dengan isu-isu yang lebih modern terhadap kehidupan kekinian masyarakat Madura yang sebenarnya lambat laun mengalami modernisasi di pulaunya sendiri.


Disampaikan dalam diskusi Karapan Laut (karya Mahwi Air Tawar),
Forum Sastra IPB, 15 November 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.