Sabtu, 12 Desember 2015

Puisi Weni Suryandari di Indopos II (Nadhoman)

Segelas Anggur

Kesakitan membatu di dada #  memercik api di mata tanda
Angin mendebur jadi ombak # menjemput cinta kudus berbiak
Berlayarlah perahu sebelum karam # sebelum layar terlanjur terkoyak
; padamu aku mabuk  #  rindu pada peluk

hujan senja merata # pasir tuliskan cinta
basahlah hati yang kering # pecah jantung pada kerling
Kita menuju masa depan # mengusir detak detik kesunyian

Diriku segelas anggur # bagimu aku lebur
Seperti pantai bertemu laut # kita bersama hingga maut

2014

Jika

Jika hati cuma mencintai # bagaimana bisa aku melukai

2014

Lullaby

Kubiarkan jendela terbuka
Menusuk angin # merajuk ingin
Pada ingatan batu # enggan mengusir pilu
Hujan warnai lautan # dari celoteh kerinduan
Serupa nyala lilin # melawan udara dingin
Aku tak sanggup terluka # kenangan manis tetap terbuka
Perahu penuh genangan # kita butuh titian
Agar jantungku tak tenggelam # Dalam tangis malam bertilam

Alangkah perih luka dada # sesak kenangan yang ada
aku mabuk janji # dalam asmara api

Tongkang tongkang nelayan # melepas jarak ikatan
membikin lembar runyam # kisah semusim kelam

Kau terbang ke cakrawala biru # lidahku kelu panggil namamu
langit pias # ombak membias
Suara tangis lebih ringkih # debur dada kian perih
Engkau tetap terbang # langit utara lengang

Dadaku remuk # kenangan terpuruk

2015


Hikayat Janji

Serangkaian doa berkumandang # anganku ikut melayang
Pada ruas matahari # jantungku menyimpan nyeri
Perpisahan lebih sakit dari cinta # meski pertemuan selalu penuh luka

Bersakit-sakit kunanti mimpi # bertambah-tambah sesak di hati
Sehelai rambutmu jatuh di lantai # air mataku runtuh berurai
Aku menanti takdir # berpaling dari getir

Inginku,
Kita selalu bersama # serupa rel kereta
Beriring tanpa berpaling # berharap saling berdamping

kubangun mimpi  #  di pusaran janji

2015

Hikayat Musafir

Seorang musafir menempuh jalan # mencari hikmah kesementaraan
tangan  kirinya bertongkat adab # dada kanannya memegang kitab
berjalan dari zaman ke zaman # membaca lembaran tafsir kesucian
ingin berpulang ke surga # kepalanya bersepuh tembaga

Di lorong langit berwarna pagi # musafir mendengar nyanyi sendiri
Harum Rabi’ah diciumnya # busuk neraka dihalaunya
Ia masih tetap berjalan # mengukur tali kekang peradaban
Ingin berpulang ke surga # kepalanya bersepuh tembaga

Oh, tenanglah jiwa # tenang semesta
Kita reguk anggur dunia # dalam bahasa para sufi
Kitab suci menghampar # kita memikul debar
Malaikat menyusun kisah # kita menghapal ibadah

Ingin berpulang ke surga # kepala bersepuh tembaga

2015

Hikayat Ramadhan

Setiap senja merah menjelang # suara langit berbilang bilang
Rapal doa mengangkasa # jiwaku sedang berpuasa

Ini bukan sebuah metafora # tentang musafir berteman lara
Aku bersijingkat meniti sirat # dari api yang menjilat

Kutatap kaki langit di deru kota # bulan pun belum menjelma jadi kata
Aku bertanya pada kitab # mampukah aku menyusun hisab
Keadilan serupa sabda panglima # Sedang riwayat penuh luka  
Ketika takdir terasa getir # perih berpaling dari hilir

Biarlah biar ombak air mata # mencuci luka bersama mantra
Aku berbisik di telinga Ramadhan # sampaikah harum surga di haribaan

Duhai, hidup alangkah panjang # setiap lembar kuhitung ulang
Sedang ciumku tak pernah lekat # di kitab syair darwis penuh makrifat

Tuhanku, sampaikan aku # pada sungai madu
Nafasku bersimbah keluh # Pada Ramadhan penuh

2015

Hikayat Rindu I

Salamku bagi pesta penghabisan # kidung penutup di deras hujan
Puisi bertutur cinta sejati # di lempang usia tersimpan melati
Dua perahu kudayung sendiri # laut menyimpan kisah nyeri
Betapa luka bertubi tubi # dadaku pecah berkali kali

Salamku bagi pesta penghabisan # kidung penutup di deras hujan
Pada ombak mengalun # kutitip rindu bertalun
Pada sajak # pada jarak
Aku menunggu tanpa kata # di antara mata dan hati

2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.