Sabtu, 12 Desember 2015

Puisi Weni Suryandari di Indopos I


Lelaki Bulan

Di tepi fajar engkau terpaku, tatap
ujung-ujung rambutku, basah serupa
setangkup hujan yang tergenggam
di tangan birahi tak bertuan

Ranting ranting tua berderak pelan,
mengusik lamunan, merapal mantra
Zulaikha kepada Yusuf, pesona nubuat
            sambil kutelan kata-katamu
hingga beku nadi

Aku berdiri, menggenggam mimpi
mencintaimu setinggi bulan berlesung pipit
Aroma  mawar di kesunyian,
membawa hatiku
padamu

Desember 2011 



Lelaki

Siapakah engkau sesungguhnya
Yang memberiku nama perempuan
dan melanggengkan kenikmatan beriring
kesakitan, menjadi sulur sejarah hidup kita

Pada matamu terlukis cahaya berwarna marun
menyala di jantung, menanam mawar dan mencucup
sisa senja dengan takzim dan penuh hasrat
Sedang aku tetap mengulum matahari, memberimu
ladang mimpi, hendak diam atau menggali lubang
untuk tubuh tanpa detak nadi

Siapakah engkau sesungguhnya
Ketika sunyi menjadi puisi dan kerinduan

Kini kutahu, di dadamu kutetesi darah
Dari pecahan hati yang setia kuutuhkan kembali
Sebab laut selalu memilik pantai, seperti hatiku
yang selalu setia berlabuh

April 2014




 Marsinah; 1993

Kuberitahu padamu tentang harihari
yang terbang ke balik jeruji dan membeku darah.
Bau mayat dan amis sejarah

Gerombolan pedagang kaki lima atau pengemis
menjamur di musim puasa ternyata lebih merdeka
dari nasib  ditusuk besi di lubang kelahiran
padahal kematian itu adalah takdir yang ikhlas hadir

Kuberitahu padamu tentang asal muasal kegaduhan musim,
Saat rumput jadi makanan dan tanah tempat bernafas
dirampas oleh jumawa berbalut seragam, kita menangis
tak punya apa-apa
tak punya apa apa

Simbol kematian hanya tertanam di tanah,
Sedang langit berwarna cerah,
burung-burung terbang rendah,
orang-orang tetap tertawa

Kuberitahu  padamu tentang negeri ini,
 nyawa adalah hitungan untung dan rugi

Mei 2014

Perjalanan Rindu

Aku melihat air mata menderas dari gunung-gunung
Isaknya menggema di udara, di sisi-sisi bukit
menanti kunang-kunang tuntaskan kesakitan
dari matamu. Sejumput kisah penuh kesedihan.

Sebentar lagi malam menutup pintu
Embun menusuk hingga ke rusuk, sunyi mengutuk
Kusaksikan kata-kata menggenangi kolam jantung
Mengekalkan senarai perjumpaan, di lembah bakung

Ini bukan luka yang kita pelihara, atau badai
menghantam dada berkalikali, tetapi hujan
menyatukan kita, sepasang bibir yang kalah
pada perpisahan abadi.

Kerinduan meletup menembus batas kenangan,
bulan semakin berkerut, mengecup hutan perawan,
dan suara angin meninggi, mencemaskan bungabunga,
dedaunan, pepohonan, menerbitkan tangis, menderas
saat rindu begitu bulat,
seperti bulan jatuh
di dadaku

April 2014

Dimuat 13 September 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.