Menuju Sunyi
Sebelum angin menghempas ombak ke pantai
Di tempat rindu pernah bersemai, hujan rinai
Engkau menatap senja di lepas laut
Bersama sepenuh perasaan pantang surut
Perahu terombang ambing oleh harapan
getar doa memecah karang, ada yang luruh
dari dada, hangatnya membias bola mata
Keindahan itu mendiami ingatan di kepalaku
Sementara sebuah kapal telah membawaku
berlayar menuju dunia sunyi, dalam kecupan
rahasia, teka teki musim pelayaran dalam mimpi
yang tak pernah terungkap di peta peradaban
2016
Rindu Betara
Sekokoh karang, tajam ombak menembus ingatan
Saat buihnya mendaras namamu, berdeburan
di jantung laut, manja pada hangat pelukan
Segala berwajah engkau di liuk gelombang
Langit mengerjap di mataku, rinduku malang
Hingga teja matahari di Barat, rupa udara
bikin mabuk padamu, duhai betara
;kujelang asmara sewangi daun bidara
2016
Tarian Jiwa
Sebelum angin menghempas ombak ke pantai
Di tempat rindu pernah bersemai, hujan rinai
Engkau menatap senja di lepas laut
Bersama sepenuh perasaan pantang surut
Perahu terombang ambing oleh harapan
getar doa memecah karang, ada yang luruh
dari dada, hangatnya membias bola mata
Keindahan itu mendiami ingatan di kepalaku
Sementara sebuah kapal telah membawaku
berlayar menuju dunia sunyi, dalam kecupan
rahasia, teka teki musim pelayaran dalam mimpi
yang tak pernah terungkap di peta peradaban
2016
Rindu Betara
Sekokoh karang, tajam ombak menembus ingatan
Saat buihnya mendaras namamu, berdeburan
di jantung laut, manja pada hangat pelukan
Segala berwajah engkau di liuk gelombang
Langit mengerjap di mataku, rinduku malang
Hingga teja matahari di Barat, rupa udara
bikin mabuk padamu, duhai betara
;kujelang asmara sewangi daun bidara
2016
Tarian Jiwa
Tak ada pelangi berpendar di mataku
Sedang gemuruh ombak penuhi dada
Aku hilang tiang, percakapan melayang
Layar terkoyak, sampan tenggelam
Tubuhku mawar kering, menyelam
; karam di palung rahasia
Diam diam angin membawa risalah
Tentang kenangan bulan basah
Aku hilang sinar, jantung berdebar
lubang luka membiru dalam dada
diam diam disentuh kabut semilir
Kulihat Engkau kembali, tersenyum samar
membawa ronce melati dan mawar
Pada lautan maaf, angin menuliskan kata,
mata membaca makna.
; padamu, kulihat jiwaku menari
2014
Penari Tayub
Senja itu lampu taman bercahaya benderang
pesta belum usai, seorang tayub melambai
Sepasang kaki indah melantai, suara gending
terdengar begitu magis, sedang cuaca gerimis
selendang hijau berayun-ayun, mengundang lelaki
jatuh birahi, sambil menggigil di tebing neraka
Oh, dia tak tahu dada penari sekarat ‘nganga luka
purnama tergelincir di selokan musim penghujan
angin malam nyasar bertiup hasrat mabuk rayuan
Kembang di sanggul rontok, air matanya beku
tangisnya nyaris terkunci oleh bibir kepedihan
Kini suara gending hanya sayup di telinga
terdengar lebih perih dari cuka menyiram luka
Jati Asih, 2014
Ironi Sepi
Aku melihat pusat keramaian beraroma kesepian
Nafas leluhur yang terbungkus masa lalu,
terkunci oleh perjalanan waktu.
Nyala lilin dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan
burung burung bernyanyi, pepohonan menari
Sungai sungai mengalir dari mata air matamu
Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
Anjing-anjing sembahyang, suara alam bertasbih
Sedang kusaksikan punggungku memanggul gunung,
kakiku tenggelam di genang anggur. Seribu ciumku
untuk dahan dahan patah di musim pengharapan.
Anak anak bermain kecapi, lalu bulan pun
Padam genapi sepi, suara rintih kudengar
samar dari kedalaman pucat dada
lebih pilu dari duka kematian
2015
Dimuat di Koran Merapi, Jogyakarta 12 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar