Minggu, 02 Oktober 2016

Penari Tayub, Tarian Jiwa dan Menuju Sunyi


Menuju Sunyi


Sebelum angin menghempas ombak ke pantai
Di tempat rindu pernah bersemai, hujan rinai
Engkau menatap senja di lepas laut
Bersama sepenuh perasaan pantang surut

Perahu terombang ambing oleh harapan
getar doa memecah karang, ada yang luruh
dari dada, hangatnya membias bola mata
Keindahan itu mendiami ingatan di kepalaku

Sementara sebuah kapal telah membawaku
berlayar menuju dunia sunyi,  dalam kecupan
rahasia, teka teki musim pelayaran dalam mimpi
yang tak pernah terungkap di peta peradaban

2016



Rindu Betara

Sekokoh karang, tajam ombak menembus ingatan
Saat buihnya mendaras namamu, berdeburan
di jantung laut,  manja pada hangat pelukan

Segala berwajah engkau di liuk gelombang
Langit mengerjap di mataku, rinduku malang
Hingga teja matahari di Barat, rupa udara
bikin mabuk padamu, duhai betara
;kujelang  asmara sewangi daun bidara


2016

Tarian Jiwa

Tak ada pelangi berpendar di mataku
Sedang gemuruh ombak penuhi dada
Aku hilang tiang, percakapan melayang
Layar terkoyak, sampan tenggelam
Tubuhku mawar kering, menyelam
             ; karam di palung rahasia
Diam diam angin membawa risalah
Tentang  kenangan bulan basah
Aku hilang sinar, jantung berdebar
lubang luka membiru dalam dada
diam diam disentuh kabut semilir
Kulihat Engkau kembali, tersenyum samar
membawa ronce melati dan mawar
Pada lautan maaf, angin menuliskan kata,
mata membaca makna.
            ; padamu, kulihat jiwaku menari

2014


Penari Tayub

Senja itu lampu taman bercahaya benderang
pesta belum usai, seorang tayub melambai
Sepasang kaki indah melantai, suara gending
terdengar begitu magis, sedang cuaca gerimis

selendang hijau berayun-ayun, mengundang lelaki
jatuh birahi, sambil menggigil di tebing neraka
Oh, dia tak tahu dada penari sekarat ‘nganga luka

purnama tergelincir di selokan musim penghujan
angin malam nyasar bertiup hasrat mabuk rayuan
Kembang di sanggul rontok, air matanya beku
tangisnya nyaris terkunci oleh bibir kepedihan

Kini suara gending hanya sayup di telinga
terdengar lebih perih dari cuka menyiram luka

Jati Asih, 2014


Ironi Sepi

Aku melihat pusat keramaian beraroma kesepian
Nafas leluhur yang terbungkus masa lalu,
terkunci oleh perjalanan waktu.
Nyala lilin dan mantra tak mampu membuatku
berlari dari angan angan
burung burung bernyanyi,  pepohonan menari
Sungai sungai mengalir dari mata air matamu

Berpagar jarak aku sembunyi dari kecemasan
demi kecemasan, perjalanan ke masa depan
Anjing-anjing sembahyang, suara alam bertasbih
Sedang kusaksikan punggungku memanggul gunung,
kakiku tenggelam di genang anggur. Seribu ciumku
untuk dahan dahan patah di musim pengharapan.
Anak anak bermain kecapi, lalu bulan pun
Padam genapi sepi, suara rintih kudengar
samar dari kedalaman pucat dada
lebih pilu dari duka kematian

2015


Dimuat di Koran Merapi, Jogyakarta 12 Agustus 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.