Kamis, 18 Agustus 2016

Dinding Imajiner Dunia Perempuan

Meraba Dinding Imajiner Dunia Perempuan Melalui Kabin Pateh Lewat kumpulan cerpen “Kabin Pateh” yang berarti Kawin Patih dalam bahasa Madura, Weni Suryandari tengah menjalankan beberapa hal yaitu;

1. menceritakan seluk beluk perempuan dalam artian peperangan batin sebagai mana tercermin di cerpen “Pelacur untuk Suamiku” yang seolah-olah berbicara mewakili beberapa peran para istri di dalam kehidupan berumah-tangga,

2. membawa cerita duka perempuan mulai dari mencari pasangan (tergambar dalam cerpen “Aku Bukan Bangsawan”, “Kabin Pateh”, “Juleha”, “Kawin Darah”), menjadi korban KDRT dari pasangannya (seperti dalam cerpen “Bau”, “Kematian Raja”, “Minah”), atau menjadi korban dari konflik dalam keluarganya (terceritakan dalam cerpen “Kabin Pateh”, “Juleha”, “Telapak Kaki Ibu”, “Putri dan Akuariumnya”), dan

3. menyoroti hal-hal yang “tidak normal” dalam kehidupan bermasyarakat seperti dalam cerpen “Mamak” yang mengisahkan bagaimana seorang kakak harus bertanggungjawab penuh meskipun memaksa dirinya pada kondisi yang terbatas untuk “memudahkan” kehidupan adiknya, atau “Pungli” yang memotret bagaimana lumrahnya pungutan dari oknum aparat, atau bahkan “Warisan” yang mengetengahkan bagaimana pandangan dan pertikaian yang terjadi antara anak-anak dari istri pertama terhadap istri kedua dari ayahnya.

Tadinya, saya ingin sekali menafikan bahwa Weni dan Kabin Patehnya itu bukan suatu hal yang berkaitan erat dengan gender perempuan, saya ingin menganggapnya sebagai karya yang bukan ditulis oleh seorang perempuan dan tentang perempuan, tetapi saya teringat sebuah hadis Nabi Muhammad SAW riwayat Muslim yang mengatakan bahwa “Perempuan adalah tiang negara jika perempuannya baik maka baiklah negaranya, dan apabila perempuannya rusak, maka hancurlah negaranya.”

Maka Weni dan Kabin Patehnya ini bukan lagi bicara soal perempuan tetapi sudah bicara tentang bangsa ini secara umum. Dalam cerita pewayangan, adalah Srikandi yang dikatakan sebagai tokoh perempuan sekaligus laki-laki karena ketangkasannya dalam bertarung, maka kemudian kalau seorang perempuan menguasai hal yang biasanya dilakukan laki-laki sering dijuluki sebagai Srikandi.

Namun dalam referensi lain, saya pernah membaca bahwa sebetulnya Srikandi itu seorang yang dilahirkan sebagai laki-laki tetapi pada akhirnya bisa menjadi seorang perempuan, dan bagi saya dia sungguh beruntung karena sebagai laki-laki dia bisa memasuki dunia perempuan seutuhnya, bukan cuma fisik tetapi juga psikis.

Dunia yang sangat kompleks itu. Tapi untunglah, ada seorang perempuan bernama Weni Suryandari yang menuliskan kumpulan cerpen Kabin Pateh ini. Lewat Kabin Pateh, saya sebagai laki-laki tidak perlu menjadi Srikandi, untuk bisa mendapatkan gambaran mengenai kotak imajiner yang “membatasi” ruang gerak seorang perempuan yaitu orang tua –terlebih sosok Ibu, adat istiadat (dalam hal ini juga agama dan nilai-nilai moralitas), sanak saudara / keluarga dalam hal ini termasuk pasangan, dan ada tidaknya dukungan terhadap eksistensi dirinya seperti materi, status sosial, pendidikan atau pekerjaan.

Sayangnya, meskipun kotak imajiner itu berfungsi untuk membatasi, tetapi juga mendukung sepenuhnya kondisi dari seorang perempuan. Kehilangan salah satu saja, akan menimbulkan masalah bagi perempuan itu. Meskipun menjadi masalah atau tidak bisa digali lebih lanjut.

Salah satu contoh dalam cerpen Putri dan Akuariumnya ketika seorang perempuan dalam hal ini Putri yang kehilangan perhatian atau dukungan dari orang tua (yaitu ibu kandungnya) maka ketika dia berkali-kali mengalami pelecehan seksual oleh laki-laki di lingkungan keluarganya, dia mengalami keputusasaan dan akhirnya memilih bunuh diri.

Atau ketika Ariani dalam cerpen Aku Bukan Bangsawan bersikeras untuk berpacaran dengan Rusdi pada akhirnya limbung dan merasa bersalah mendapati ibunya menderita serangan jantung. Nilai-nilai adat, meskipun di dunia yang katanya sudah sophisticated ini, juga punya andil yang cukup kuat seperti digambarkan secara baik dalam cerpen yang menjadi judul kumpulan ini yaitu Kabin Pateh.

Juga menjadi pertentangan batin yang cukup kuat bagi Farida sebelum akhirnya memutuskan untuk membakar Raja dan Linda alias madunya. Dan ketika nilai-nilai adat atau moral itu hilang, seperti dalam cerpen Dendam Asih, yang terjadi adalah sesuatu yang diluar dugaan! Seperti Asih yang bersikeras untuk ditiduri oleh ayahnya sendiri.

Dukungan pasangan atau keluarga, tentu akan memberikan faktor keberhasilan dan sebaliknya jika pasangan atau keluarga tidak mendukung langkah-langkah. Namun rasanya hal ini berlaku sama untuk pihak laki-laki. Namun bedanya adalah (biasanya) laki-laki cenderung akan “lari” terhadap permasalahan seperti ini, dan efeknya yang dialami perempuan.

Contoh ketika Pak Ribut melarikan diri dari tanggungjawabnya yang terjadi adalah kematian bayi dan ibunya yang menjadi hantu berbau busuk, atau seperti Johan yang pada akhirnya menyebabkan Minah juga mengalami kejadian yang hampir sama. Namun, ketika perempuan mendapatkan dukungan lain seperti pekerjaan yang baik atau pendidikan yang tinggi, perempuan bisa meminimalisir masalah atau malah mendapat keuntungan dari masalah yang terjadi seperti tokoh Diana dalam cerita Pelacur untuk Suamiku, atau tokoh Rosma dalam cerita Mamak.

Meskipun dalam kedua cerita itu, masih terlihat adanya kepatuhan mereka terhadap bagian-bagian lain dari kotak imajiner tadi, seperti Rosma terhadap ibunya, dan Diana terhadap suaminya. Di sisi lain, Weni melalui Kabin Pateh juga mengangkat masalah-masalah yang sudah menjadi “penyakit” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini yaitu korupsi, dalam hal ini secara jelas menjadi judul cerpen “Pungli.”

Yang menarik lagi, cerpen ini diceritakan seolah terjadi dan menimpa siapa saja sehingga tak ada tokoh utama selain petugas yang berpidato panjang lebar yang ujung-ujungnya adalah menginginkan sesuatu yang tak lain dan tak bukan adalah pungutan liar itu. Yang lainnya? Hanya bisa mempertanyakan hal itu bisa terjadi dan memperbincangkan belaka tanpa ada tindakan seperti yang benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Cerita lainnya adalah konflik yang terjadi ketika seorang suami beristri lebih dari satu di dalam cerpen Warisan. Saya menduga ini pandangan yang mewakili orang-orang yang mempertanyakan mengenai poligami, tetapi dengan sudut pandang berbeda. Bukan seperti Farida yang dimadu dengan Linda dalam cerpen Kematian Raja, tetapi lebih jauh bertanya atas sikap “boleh poligami asal adil” yang biasanya hanya pada istri-istri dari seorang pria, belum sampai soal anak-anak dari istri-istri itu.

Weni bisa jadi menggambarkan bagaimana anak-anak dari istri tua memusuhi istri muda ayahnya dan anaknya karena kekurangdekatan hubungan mereka, hanya dari awal yang dibesarkan adalah bagaimana ayah mereka yaitu Pak Tajudin bersikap selama hidupnya baik kepada ibu mereka atau mereka sendiri. Sehingga dalam cerpen itu menyisakan persoalan tersendiri di akhir cerita yang seolah-olah merupakan sinisme terhadap perempuan-perempuan yang mau diperistri oleh laki-laki yang sudah beristri.

Apakah benar seperti Ruminem mereka hanya mengincar harta belaka? Uniknya, hal ini juga tampak ketika Diana menginterogasi Rani Lestyoningrum yang tengah didekati oleh Ghazali, suami Diana. Dengan melihat batasan-batasan dari kotak imajiner yang memperlemah sekaligus memperkuat kedudukan dan eksistensi seorang perempuan dalam kumpulan cerpen Kabin Pateh ini, agaknya Weni memang sedang mempermainkan batasan-batasan itu dan membuat tarik ulur antara pihak laki-laki dan perempuan mengenainya.

Sehingga pembaca – laki-laki atau perempuan – mulai memikirkan hubungan yang ideal yang tidak menjadikan batasan itu sebagai kungkungan terhadap perempuan tetapi sebagai suatu faktor-faktor yang mendukung eksistensi seorang perempuan, baik saudara, teman atau pasangannya. Jakarta, 23 April 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.