Jumat, 10 Juni 2016

Puasa dan Hakikatnya

Ini adalah tanggal 10 Juli, tanggal 4 Ramadhan. Sudah 4 hari umat muslim melaksanakan ibadah puasa. Termasuk saya dan keluarga. Berhari-hari sebelumnya kami menantikan ritual ibadah puasa ini.  Ritual puasa yang termasuk salah satu rukun Islam ini sesungguhnya memiliki hakekat penyucian diri, menahan diri dari hawa nafsu. Tentunya semua jenis nafsu: amarah, biologis dan tentu makan dan minum.

Saya jadi ingat, jika dalam bulan puasa, saya kadang berselisih pendapat tentang hal kecil dengan pasangan. Tak jarang pula berujung pada debat kusir. Tapi demi menjaga keharmonisan keluarga, saya mengalah, kadang-kadang dia yang mengalah. Meski kami tahu betapa kami menahan dongkol di dalam hati. Suasana berubah menjadi cair ketika saat berbuka tiba. Kami sekeluarga makan, minum dan berbicara sambil tersenyum senyum. Soal sendok salah letak, bungkus daun pisang yang diletakkan sembarangan, atau cara mengupas mangga yang kurang tepat tak lagi menjadi masalah. Ya! Karena rasa lapar dan haus sudah hilang.

Baiklah. Maka saya kemudian menyimpulkan melalui riset pada diri pribadi dan keluarga bahwa puasa diwajibkan bagi orang beriman, karena dengan puasa, kita diharapkan mampu menahan amarah, dll. Sedangkan orang yang lapar cenderung emosional dan temperamental. Kelaparan bisa menyebabkan orang berbuat apa saja. Bahkan orang bisa berbuat nekat seperti mencuri atau merampok, tak lain disebabkan karena lapar, meski pun lapar dapat didefinisikan menjadi berbagai makna: lapar perut, lapar harta, lapar mata, lapar libido. Sulit bukan?

Ujian puasa ini sungguh berat. Oleh sebab itu wajar jika Allah mengatakan dalam salah satu hadits qudsi, 

"« الصوم لي وأنا أجزي به ، إنه ترك شهوته وطعامه وشرابه من أجلي » 

Artinya: “Puasa hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran pada-Nya secara langsung, sebab ia telah meninggalkan hawa nafsu, makan, dan minumnya karena-Ku”.


Puasa ini untukku, antara Aku dengan hambaKu". Wajar bukan? Sebab pengendalian diri adanya di dalam hati, soal hati, hanya Allah yang tahu.

Wallahua'lam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.