Jumat, 29 April 2016

Kabin Pateh

Cerpen: Weni Suryandari

PERJALANAN begitu dingin menelusup sampai ke tulang-tulangku. Dedaunan luruh, angin bergemuruh menyesak dada. Aroma laut, suara camar, kecipak ombak kecil-kecil yang biasa menerabas kakiku jika bermain-main di pantai begitu kuat menghentak-hentak ingatanku. Semua masih kuingat dengan jelas, seakan aku kembali ke masa kecil dulu, atau masa remaja saat buah dadaku baru hendak ranum. Semua masih membayang. Pesisir Sumenep yang bersih.

Aku hanya lupa kapan tepatnya aku berkenalan secara dekat dengan Hadi, yang kini menjadi suamiku. Aku lupa kapan Ibhu dan Eppak mengiyakan lamarannya. Siang, sore atau malam hari. Sejauh yang masih kuingat, Daliyah dan keluarga besarnya tiba tiba saja datang hendak melamarku. Ibu dan Bapak bergeming mendengar rayuan maut Daliyah.

“Nanti Ibu saya tambahi modal untuk buka toko. Saya belikan tambak garam lagi untuk Bapak. Sampeyan jha’ kobeter,“ bujuknya.

“Sampeyan tak usah khawatir, kakaknya Ris akan saya biayai sekolahnya sampai selesai. Laki-laki harus sekolah terus, bukan?“ lanjutnya menyeringai.

“Nah, lihat! Rumah ini sudah hampir ambruk! Wah, harus segera diperbaiki. Saya yang akan menanggung biaya renovasinya. Tenang Bhu!” matanya meneliti langit-langit ruangan, melihat pintu dan kusen jendela.

Ibu dan Bapak tampak terkesiap malu. Bibirnya pucat. Wajahnya memerah.

“Dulu mushalla di depan rumah ini kan Bapak saya yang mendirikan? Ustadz Syamsu digaji oleh Bapak saya.“

“Iya, saya masih ingat itu semua, Daliyah.“ Bapak bersuara tanpa senyum. Ibu mengangguk.

“Nah, yang penting Ibu dan Bapak menerima pinangan saya untuk Ris. Ris juga sudah cukup umur kan? Ssst, Hadi kurang apa? Warisannya banyak, Bu!“ bisiknya mulai pelan.

“Sekarang saya punya rumah banyak, punya butik, hmm kalau tidak tahu, itu lho, toko pakaian mahal! Punya kolam renang dan tanah di mana-mana!“ congkak sekali mulutnya.

“Satu lagi. Ibu dan Bapak pasti ingin naik haji, ya kan? Saya sudah tiga kali pergi haji! Kita berangkat ke Mekkah lagi bersama-sama nanti!” Rayuan maut. Sialan!

Kata-kata Daliyah dari balik tirai kamarku terdengar berat dan tegas. Sosoknya kulihat sepintas dari balik tirai, berkulit kuning langsat, agak gemuk dan berpakaian dengan warna mencolok. Pergelangan tangannya dipenuhi perhiasan emas bergemerincing. Ingin rasanya kusumpal mulutnya saat itu. Kulihat bibirnya yang tipis dan nyinyir tersenyum penuh siasat. Tapi aku takut pada Ibhu dan Eppak yang tentu tergiur oleh janji janjinya.

Aku tahu Ibhu atau Eppak pasti akan mendatangiku. Aku dicekam gelisah.

“Ris, Daliyah itu cucu tertua dari keluarga besar mendiang RP. Rahmat Besuki, majikan Eppakmu di Kangean!” Eppak berbicara perlahan.

“Tapi saya tak suka pada Hadi, terlalu tua. Kenapa dia tidak mencari yang sesuai?”

“Tapi kau kan sudah pantas untuk menikah? “

“Dengan laki-laki yang kucintai Pak, yang sesuai!”

“Hadi kurang apa? Dia cucu orang terpandang! Keluarga priyayi!”

“Apa istimewanya? “

“Daliyah hidup enak karena baktinya pada orang tua. Kamu akan hidup nyaman jika menuruti nasihat Bapak, Ris!” Aku mulai sesak. Kepalaku penuh oleh kegelisahan yang mendalam.

“Apa kamu tidak mau jadi ‘orang’? Kedua adikmu bisa sekolah sampai sarjana. Rumah kita dipugar menjadi rumah mewah. Hidup kita akan terangkat. Orang lain akan memandang kita dengan hormat. Pikirkan balas budi kita, Nak!” suara Ibu juga tak kalah lembut.

Daliyah, oh Daliyah keparat. Sudah berapa lama kau hidup di Jakarta? Sepuluh? Duapuluh? Tiga puluh tahun? Ah, rasanya kehidupan ibukota telah mengubah wataknya menjadi lupa asal. Ia lupa bahwa dulu pun ia berasal dari desa. Suaminya pun berasal dari desa yang sama. Perjodohan pula! Persetan keningratan, persetan kekayaan!

***

SUARA-suara gamelan memaku tubuhku tepat di pintu gerbang gedung perhelatan pesta. Kepalaku terasa lebih pening daripada tadi saat ijab qabul. Di dalam ruang perhelatan terlihat penuh oleh manusia. Karpet merah memanjang dengan taburan melati dan pandan di atasnya membuat ruangan berpendingin ini begitu semerbak. Lututku gemetar, kepalaku terasa berat. Sanggul dan roncean melati di kepalaku sungguh membuat leherku limbung.

“Ayo, jalan! Gandengan!” seru suara suara di belakangku.

“Ayo Ris. Jangan diam saja!“ Aku ingin menangis menahan sakit di sekujur tubuhku.

“Ayo, Ibu yang gandeng!” sekuat tenaga kusambut tangan ibuku. Kuremas bersama keringat yang mengucur deras. Bibirku beku, dingin. Ibu tak kalah dingin dan berkeringat. Kurasa ia pun gugup menghadapi suasana berkilauan.

Suara gending kembali memukul-mukul kepalaku. Tatapan mata seluruh pengunjung perhelatan seakan menelanjangi tubuhku. Aku tak berani menatap. Hanya menunduk dan melihat karpet merah memanjang hingga ke depan pelaminan. Perawan desa naik tahta!

Sebuah tangan mempersatukan tanganku dan tangan Hadi untuk bergandengan. Kurasa ini tangan kurang ajar Daliyah. Aku takut membikin keributan di tengah pesta. Kubiarkan saja tangan Hadi menggenggam tanganku, melangkah pelan hingga sampai di tempat pelaminan.

Kulihat Hadi yang usianya dua kali lipat usiaku berdiri di sebelah kiriku. Bersalaman dengan seluruh tamu dengan mendongak-dongakkan atau memiringkan kepalanya dengan aneh. Aku tak berani melihat. Adegan saat ijab qabul siang tadi berulang kembali. Sesekali dihentakkannya kepalanya dengan keras, lalu mendehem, dengan keras pula, lalu tertawa menyeringai dengan separuh giginya yang tanggal. Aku terpaku. Kakiku sakit. Lututku gemetar harus berdiri begitu lama.

Aku harus mengikuti serangkaian acara perkenalan, sowan ke seluruh sanak famili di Jakarta. Memakai sepatu bertumit tinggi hingga membuat kakiku lecet, berpakaian yang kukira sangat mahal harganya, rambut disanggul, riasan wajah yang terasa tebal di kulit pipiku. Ah, semua mengingatkanku pada tukang tandak di kampungku.

Tatapan aneh dan sinis sanak keluarga menyapu tubuh dan wajahku. Keramahan mereka tampak dipaksakan. Rumah-rumah mewah yang kami datangi seperti rumah keraton di Sumenep. Ornamen kayu dan ukiran Madura di sudut-sudut ruang menjadikan aku seperti orang asing dari desa terpencil. Meja meja hias dari porselen, guci-guci bagus. Huh! Melangkah pun aku gugup, tidak berani terlalu cepat. Lantai terlalu licin dan mengkilap!

Aku tidak berani menatap mata mata mereka. Yang kulakukan hanya tersenyum dan menatap ke bawah, mengangguk, atau berbicara seperlunya saja. Badan tidak boleh terlalu tegak, harus sedikit melengkung untuk menunjukkan kesopanan. Tertawa tidak boleh terlihat gigi. Itu semua aturan yang diberikan Daliyah. Sementara Mas Hadi selalu tertawa menyeringai di sampingku dan kerap menepuk-nepuk pundakku.

***

HARI ketiga. Belum seujung kulit pun Hadi menyentuhku. Ibu selalu menemaniku. Tak kuperbolehkan pulang, juga Bapak. Rumah ini terlalu besar jika hanya harus berdua saja dengan Hadi. Tidak! Aku tidak mau tinggal sendirian. Berdua dengan Hadi, tapi tetap merasa sendirian!

Suatu malam bahkan Daliyah mengunjungi kami dan berbicara pada Mas Hadi tentang dokter dan rumah sakit. Tanpa setahuku, esoknya mas Hadi dijemput oleh Daliyah entah ke mana. Malamnya Daliyah datang tanpa Mas Hadi. Ke mana suamiku?

“Dik Ris, aku membawa Hadi ke rumah sakit jiwa. Sebelum dia mengamuk lagi, aku harus membawanya ke sana. Kamu jangan kuatir, biasanya dia diopname cuma tiga hari. Sengko’ lesso! Capek, pulang dulu!” tanpa meminum suguhanku ia segera beranjak lagi. Rupanya supir masih menunggu, mesin mobil tak dimatikan.

Aku terhenyak. Tak kusangka! Tiba tiba aku begitu dendam pada Eppak, pada Ibhu, pada Daliyah dan seluruh keluarga besarnya, pada kemiskinan keluarga kami turun-temurun di masa lalu. Balas budi yang tak kusanggup menjalaninya selama sisa hidupku.

***

IBHU terdiam di ruang tamu. Perjalanan jauh Sumenep-Jakarta cukup melelahkan baginya. Baru sebulan yang lalu Ibu pulang ke Sumenep, kini sudah kuminta ia kembali lagi. Semenjak beliau datang, keluh-kesahku tak habis-habis bercerita tentang Mas Hadi.

Siang dan malam yang seperti neraka. Suara-suara aneh setiap saat ia kambuh. Berbicara tak keruan, melantur yang tak kumengerti artinya. Jika kutanyakan, ia malah balas membentakku. Ceracaunya pun makin menjadi-jadi. Jika ada barang apapun di sekitarnya, ia akan pukul sejadi-jadinya meski tangannya harus terluka. Yang bisa kulakukan hanya melindungi tubuhku dan menangis tanpa suara. Pojok kamar tidur menjadi tempat teraman bagiku.

Apakah aku harus menyesali takdirku jika harus membalas budi pada keluarga Daliyah? Demi kehormatan keluarga dan kesejahteraan tak seberapa dari tambak garam Eppak dan bantuan keuangan dari Daliyah. Jika aku berhasil menjadi “oreng”, aku bangga! Tapi siapa sangka jika suamiku ternyata memiliki kelainan jiwa?

“Do kanak! Jangan menangis, jangan menyesal. Ibhu dan Eppak tidak tahu kalau Hadi seperti itu. Ingatlah, mereka keturunan ningrat, dari kota. Tidak mungkin Nak Hadi sakit jiwa!“

“Saya seperti hidup sendirian, Bu. Keluarga Mbak Daliyah sangat berkuasa. Rumah tangga kami diatur semua olehnya!”

“Bukankah itu baik, Nak? Daliyah tidak lepaskan kalian begitu saja. Sebagai kakak dia ikut bertanggungjawab. Apalagi dia selalu ingat janjinya pada Eppakmu!” Ah, Ibhu menjawabnya seolah kehidupanku adalah jalan yang lumrah ditempuh oleh gadis-gadis Madura dalam menjalani perjodohan.

“Sekarang mana Hadi, suamimu?”

“Mas Hadi dirawat lagi Bhu. Sake’!”

“Sakit apa?”

“Sakit jiwa! Komat!”

“Masya Allah! Kenapa kamu tidak pernah mengabarkan pada Ibhu??”

Ibhu meletakkan tas tangannya. Ia merengkuh bahuku. Kerutan di sudut matanya kian jelas. Alisnya terangkat, wajahnya yang lembut seketika berubah menjadi sedih. Air matanya tetap tertahan. Ah, Ibhu tak pernah menangis. Bahkan ketika tambak garam gagal panen dan kami sekeluarga harus menahan lapar, mengurangi jatah makan tiga kali sehari menjadi satu kali.

Ibhu pantang menangis! Eppak sibuk berdoa, tak ada lain dilakukannya selain menghabiskan waktu di langgar. Berdo’a dan berzikir mengharap cuaca baik dan panen garam berhasil untuk semua petani garam di desa.

“Tapi kehidupan kita berubah, Ris! Rumah kita sudah tidak berdinding papan. Tanean sudah megah, berdinding tembok. Eppak punya mobil sederhana untuk pulang pergi ke Malang menengok adikmu. Ba’na toro’ oca’ ka reng toa. Bhaktena ba’na….,“ Ibhu terisak. Air mataku mengalir semakin deras. Mungkinkah Ibhu akan mengorbankan hidupnya demi kekayaan? Tidak bagiku!

Tak seorang pun tetangga kami mengira bahwa aku adalah anak seorang petani garam dari pesisir Sumenep, keluarga miskin dan kelaparan. Pernikahan ini hanya demi melanjutkan trah keluarga besar Daliyah. Dan trah itu tidak boleh tercemar! Aku terikat dalam perkawinan yang ganjil, burung dalam sangkar emas, bersuami tapi tak bersuami, berumah tangga tapi ditanggung oleh keluarga besarnya. Tubuh dan pikiranku bukan milikku!

***

IBHU berbaring melepas lelah di kamar depan. Matanya terpejam, aku tak berani bersuara, mendekat atau sekedar menutup tirai jendela. Matahari segera lingsir ke Barat. Gema azan ashar telah lebih satu jam berlalu. Ibu belum bangun. Aku khawatir beliau akan marah jika tak dibangunkan untuk shalat.

“Bhu! Ashar! Bangun, belum sholat kan?”

Ibhu bergeming. Wajahnya tersenyum. Mungkin beliau bermimpi.

“Bhu!“ kusentuh lengannya agak keras. Tangannya terkulai dari atas perut. Kupanggil sekali lagi, kusenggol kembali jemarinya. Dingin. Sajadah dan rokoh masih tergeletak di sisi tempat tidur. Agaknya Ibu telah selesai sholat ashar. Butiran tasbih tergenggam di tangan kirinya. Kucabut dari genggaman, Ibu tak bersuara.

Aku mulai panik. Dadaku menyesak.[]

Jati Asih, 2012

Catatan: Kabin Pateh: Kawin Patih. Ibhu, Eppak: Ibu, Bapak. Sampeyan jha’ kobeter: Kalian tidak usah khawatir. Sengko’ lesso: Saya capek. Sake’: Sakit. Komat: Kumat. Oreng: Orang, sukses Ba’na toro’ oca’ ka reng toa. Bhaktena ba’na: Kamu menuruti kata-kata orang tua. Baktimu… Rokoh: Mukena /alat sholat perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.