Cerpen: Weni Suryandari
Perempuan itu mendengus perlahan sambil meraba-raba keningnya. Kening yang semalaman dirasakannya mengucurkan darah kini tak terasa basah, hanya ada bekas luka keringnya, tetapi seluruh persendiannya seakan lepas dan membutuhkan sandaran.
Perempuan itu mendengus perlahan sambil meraba-raba keningnya. Kening yang semalaman dirasakannya mengucurkan darah kini tak terasa basah, hanya ada bekas luka keringnya, tetapi seluruh persendiannya seakan lepas dan membutuhkan sandaran.
Pagi bertabur keheningan saat
sepasang matanya menembus tirai kabut. Kokok ayam bersahutan di belakang sebuah
bilik panggung beratapkan daun rumbia. Perempuan itu mengendus-endus bau busuk
yang menguar di sekitarnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menguceknya, lalu
bangkit membetulkan kainnya yang longgar. Dilihatnya sisa masakan ikan patin
semalam sudah digerogoti tikus di pojok dapur.
Sisa pembakaran tungku semalam
belum reda. Bau asap menguar makin pengap di bilik sempit yang hanya
dilapisi bambu itu. Asap menerobos keluar dari celah-celah lubang kecil
di sudut kanan dinding. Mungkin hanya selebar daun jati tetapi cukup
untuk membuat pekat asap berkejaran saling mendahului untuk keluar dari bilik
pengap itu.
“Faridaaa….Faridaa….” sebuah
suara berat menggedor-gedor kepalanya. Pusing segera menjalar secepat kilat.
Tubuhnya gemetaran. Ia nyaris lemas.
“Farida…! Cepat! Kopiku mana??”
seru suara itu. Ah, beruntunglah suara itu hanya meminta segelas kopi. Padahal
ia telah menyiapkan bara api semalaman jika lelaki itu berani menghampirinya
lagi. Belum usai tubuhnya pulih dari rasa sakit sisa pukulan kemarin.
Perempuan itu segera menyalakan
tungku lagi. Ia menjerang sedikit air untuk membuatkan kopi bagi Raja,
suaminya.
Mengapa perempuan harus berada
dalam posisi yang tak bisa mengelak? Apa salahku hingga aku harus menderita
seperti ini, Mak? Bukankah dulu Mak yang memaksaku menikah dengan Raja anak
Penghulu Desa itu? Bukankah kata guru ngaji, jika kupatuhi perintah Mak,
maka seorang anak akan mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya? Namun apa
buktinya sekarang? Aku tidak bisa bergerak lagi. Aku terkurung dalam gigil
sunyi tanpa batas di belakang rumah suamiku, Raja. Buliran air mata
menetes di pipinya. Air mata yang menembus ulu hatinya, yang telah lama mengendap
di bilik jantungnya. Airmata yang belum lagi memerah darah, mungkin sedang
menunggu saat paling genting. Atau menunggu ajalnya tiba? Farida menghela nafas
panjang.
Perlahan ia melangkah mendekati
meja makan. Raja tak terlihat. Mungkin ia sedang memainkan burungnya di
halaman depan. Halaman yang dikelilingi pepohonan rambutan dan mangga, di
tutupi pagar tembok dan pintu gerbang besi yang berukuran lebih tinggi
dari ukuran manusia. Rapat, sebab tak pernah sekalipun seseorang bertandang
atau berlalu lalang di tempat ini. Bahkan Farida tak dapat keluar dari sini.
“Da! Sudah?” Farida kaget
dan reflek menggerakkan bahunya.
“Sudah, Bang…”
“Da! Ke sinilah kau! Mengapa
kau begitu takut padaku? “
Ia menyeruput kopinya sambil
mengangkat kakinya sebelah. Farida mendekat.
“Berapa tahun sudah kita
menikah?” Farida menunduk.
“Berapa tahun, Da?” Farida
membisu.
Kepalanya berputar-putar. Ia
tak ingat hari. Tak pernah melihat-lihat kalender, tak pernah menghitung berapa
kali sudah matahari dan bulan berganti tugas. Ia sama sekali tak ingat!
“Da, kita sudah menikah lebih
dari tiga tahun.” Lelaki itu melanjutkan.
“Maksudku, kau belum memberiku
seorang anakpun. Kira-kira apa yang ada dalam pikiranmu?”
Farida menggeleng. Sepasang
airmata berdenting di lantai. Lagi!
“Nah, aku ingin punya anak, Da!
Aku ingin menikahi Linda, anak Engkoh Cin pemilik Kedai Borjuis di kota. Kau
tahu kan? Linda itu cantik, muda dan segar. Pasti ia bisa memberiku keturunan
yang cantik dan tampan. Ha ha ha…” Ia lupa apa yang diperbuatnya semalam pada
Farida. Seringainya membuat kumis baplangnya bergerak-gerak.
Ah, Farida tak pernah
memperhatikan kumis Raja. Ia menikah tanpa memperhatikan sosok laki-laki itu
dari dekat. Menurut petuah-petuah para tetua, perempuan pantang menengadah,
menatap lawan jenis, atau sekadar menggelengkan kepala untuk
mengungkapkan isi hatinya, ketidaksetujuannya. Suara Mak yang lembut dan Bapak
yang keras, membuatnya benar-benar tumbuh menjadi gadis manis dan penurut.
“Da! Jawablah! Kau setuju
bukan? “ Farida membungkam. Linda atau siapapun perempuan yang akan dinikahi
Raja, bukanlah masalah baginya. Ia tak kenal. Ia tak pernah keluar rumah, tak
pernah ke kota. Toko Borjuis atau Toko Sederhana sekalipun, ia tak tahu dan tak
perduli.
“Kau istri tak berguna Da! Tak
bisa memberiku keturunan, kerjamu hanya dapur dan sumur.”
Farida mengerang keras, hanya
dalam hati, hanya telinganya yang mendengar. Ia segera membalikkan badan,
menuju ke rumah belakang lagi. Membisu tanpa desah nafas sekalipun.
Ia harus segera menyiapkan air
panas untuk mandi suaminya, lalu memasak makanan kesukaan Raja, sambal goreng
petai dan patin kuah asam. Dapur dan sumur, itulah dunianya. Kasur? Oh, nanti
dulu. Ia hanya dipanggil ke dalam rumah utama jika Raja ingin mengajaknya
bercumbu dalam kesakitan dan derai airmata tak berkesudahan. Sebuah percumbuan
dengan paksaan, sebab tak berlandaskan cinta. Terus menerus hingga kentongan
peronda malam berbunyi tiga kali. Waktu yang paling menguntungkan baginya
hanyalah saat Raja pergi ke kota membawa pundi uangnya dan berjudi hingga dini
hari, lalu pulang dengan bau mulut sisa minuman tuak yang ia bawa tidur.
Pernah ia hendak memanjat pohon
dan melompati pagar pada tengah malam, demi melarikan diri dari penjara rumah
tangganya yang kejam. Namun kainnya tersangkut di antara tajam besi pagar dan
ranting pohon. Ia terjerembab. Menangis pun takkan ada yang mendengar. Ia
kembali ke rumah utama dengan menahan tetes darah di pahanya.
“Da, aku akan membawa Linda
pulang, nanti sore. Kau siapkan kamar dan masakan yang lezat, agar ia betah
tinggal di sini, Da…” Farida tersentak. Ia tak menyangka akan secepat itu.
Nanti sore?
Perempuan itu menelan ludah
yang sedari tadi tercekat di kerongkongannya. Ia mengepalkan jemarinya.
“Bang, apa tak sebaiknya saya
abang ceraikan? Bukankah Abang akan lebih bahagia nantinya?”
“Apa katamu? Tak mungkin aku
menceraikanmu. Siapa nanti yang akan mengurusku Da?”
“Bukankah ada istri baru Abang?
“ ia enggan menyebut nama perempuan yang akan menghuni rumah ini.
“Hei! Linda tak akan kusuruh
mengurus rumah. Ia cantik, Da! Tak sepertimu, lusuh dan berbau udik.” Betapa
ringannya lidah Raja berkilah seperti itu.
Farida menahan gemas. Jika
demikian maksud Raja, pupuslah harapannya selama ini.
“Da. Kamu tetap istriku. Linda juga
istriku. Kalian berdua tak akan terpisahkan dari sisiku. Setiap istri punya
tugasnya masing-masing. Begitu ‘kan? Ibumu akan berbahagia di alam sana,
melihatmu menjadi istri yang berbakti untukku. “ seperti biasanya Raja selalu
menggunakan kalimat itu sebagai senjata untuk melumpuhkannya. Farida menekuk
muka.
“Masak yang lezat ya, Da.
Jangan sampai Linda kecewa karena masakanmu tidak enak.”
Seringan lidahnya mengucapkan
kata-kata itu, ringan pula langkahnya keluar rumah. Kunci gembok tak lupa
ia bawa serta. Ia tak ingin istrinya keluar rumah pada saat dirinya tidak ada.
“Bang! Abaaang! Aku ikut Bang!
Aku ingin bertemu dengan calon maduku.” Kepala Farida mulai dipenuhi
siasat. Ia berlari mengejar Raja di halaman. Kainnya berseliweran, hampir saja
kakinya terantuk batu kecil di anak tangga terakhir. Ia segera menguasai
diri dan melangkah tertatih-tatih.
“Untuk apa? Kamu menunggu di
rumah sajalah. Aku harus bertemu dengan Engkoh Cin dulu.”
Farida merenggut tangan Raja.
Belum pernah ia lakukan hal ini seumur perkawinannya. Ia merajuk dengan
terpaksa, mengusir muak yang bertahun-tahun bersarang di benaknya. Raja
mengernyitkan sebelah alisnya. Mulutnya berkerut, mengerucut. Matanya tajam
menatap Farida. Ditepiskannya tangan perempuan itu.
“Bang…ajak aku serta! “
Farida berlutut di bawah kaki Raja. Ia memohon dengan wajah memelas.
Satu-satunya cara yang bisa ia lakukan hanyalah berlutut.
“Masuk! Masuk!! “ Bentak lelaki
itu sambil menendang tubuh Farida, mengenai pahanya. Farida terjerembab. Raja
segera keluar, pagar besi pun tertutup rapat.
Ia tak percaya begitu sulitnya
untuk mengelak takdir.
Beberapa ekor ikan patin yang
dibeli Raja kemarin pagi belum diapa-apakan. Ikan-ikan itu masih asyik berenang
di sebuah bak besar. Ia tak tahu akan berbuat apa, mana yang harus
dikerjakannya lebih dahulu. Menangkap ikan itu dan memukul kepalanya, atau
mengupas bumbu dan menyiapkan tungku kayu.
Ia menahan rasa sakit di
pahanya. Kini wajah perempuan yang disebut-sebut bernama Linda itu memenuhi
kepalanya. Ia belum pernah melihatnya, tak pernah mengenalnya. Seperti apa Raja
memperlakukannya nanti? Seperti dewi kahyangan ataukah seperti dirinya?
Pernah satu kejadian lagi pada
siang hari, kunci gembok tergeletak di atas meja rias. Raja tertidur pulas,
dengkurnya keras. Ia ambil kunci itu diam-diam, namun terjatuh,
menimbulkan suara keras. Raja terkejut dan menghardiknya.
“Farida! Apa yang mau kau
lakukan? Ha?” serentak Raja bangkit dan sigap mengambil kunci yang tergeletak
di lantai. Farida pucat, tercekam ketakutan.
“Da! Kau mau kabur ya? Ngaku!”
serunya membelalak. Ia jambak rambut Farida. Farida meringis kesakitan. Ia
membisu. Bibirnya gemetar.
“Awas kalau kau berani! Dasar
perempuan tak tahu diuntung!” ia hempaskan tubuh ringkih Farida ke lantai. Ia
tak menangis, sudah terbiasa. Farida segera berlari menuju dapur belakang.
Sejak saat itu ia tak pernah berani lagi mencuri kunci gembok untuk yang ketiga
kalinya.
Suara Raja dan suara tawa kecil
perempuan dan celotehnya yang nyaring mempertegas kehadiran perempuan lain di
rumah itu. Ia segera menuju ruang depan
“Farida! Kenalkan, ini
Linda. Lihat, cantik bukan?” Raja menyeringai penuh ejekan. Apa maksudnya?
Tanpa mengejekpun Farida sudah terlalu luka. Perempuan itu mengulurkan
tangannya. Farida tersenyum kering. Meja makan kosong. Sebentar lagi Raja pasti
membentaknya.
“Da, mana makanan
kesukaanku? Kau belum buatkan?” Farida menggeleng.
Ia segera menuju dapur. Satu
jerigen minyak tanah masih belum terbuka tutupnya. Satu jerigen lagi sudah sisa
seperempatnya. Ia segera menyerok ikat patin itu dengan jaring. Ia pegang ikan
yang paling besar. Ia pukul kepalanya dengan gagang pisau. Wajah Raja dan
perempuan itu sedang tergolek di kamar membayang jelas. Kamar yang telah dirapihkannya
dengan kelambu putih yang menjuntai dan seprai putih sesuai perintah
suaminya.
Farida membawa masakan patin ke
dalam rumah utama. Tak terdengar suara, sunyi semata. Kunci gembok tergeletak
di meja makan. Terbetik keinginan untuk lari. Tapi ia takut Raja akan
memburunya. Ia buka pintu yang memang setengah terbuka. Kedua insan itu sedang
nyenyak dengan busana yang terbuka sebagian. Jerigen minyak tanah segera
ia siramkan ke kelambu, ranjang kapuk dan tubuh keduanya. Ia habiskan seluruhnya
tanpa sisa. Basah dan bau minyak tanah begitu menyengat.
“Farida! Apa yang kau
lakukan bedebah??” suara Raja menggelegar. Perempuan di sampingnya terkejut
membuka mata.
Tangan Farida gemetar sambil
menyulut sebatang korek api, ia lemparkan ke atas selimut, sebatang lagi ke
pakaian keduanya, sebatang lagi pada seprai, ia biarkan kamar berkobar dengan
bibir gemetar. Ia raih kunci gembok di meja makan, sambil berlari dan terus
berlari tanpa menoleh lagi.
Lolongan sepasang manusia itu
terdengar merdu di telinganya. Farida tersenyum menembus bening udara dan
cahaya yang menyambutnya. Petuah leluhurnya samar samar dan patah patah
mendengung sayup di otaknya.
Jati Asih, Maret 2011
(Dimuat di Harian Suara Karya,
2 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar