Senin, 05 September 2016

Warisan

Cerpen Weni Suryandari

ENTAH apa yang telah dialami hidup lelaki renta itu sebelum maut menjemputnya. Tak ada tangis sanak keluarga, tak banyak yang mengantar jenazahnya menuju liang lahat. Bahkan untuk menurunkannya dari kurung batang pun, anak-anaknya, cucu-cucunya tak ada yang ikhlas melakukannya. Dengan tatapan datar mereka menyaksikan tubuh lelaki renta itu dalam balutan kafan. Diturunkan dengan susah payah, dibuka penutup kepalanya, agar wajahnya dapat mencium tanah. Begitu sulitnya diposisikan untuk mencium tanah. Tubuh gemuk dan perut gendutnya menghalangi.

baca selanjutnya: 

Kemarin petang, langit mencekam. Ketegangan meliputi rumah kuno dan kusam itu, rumah keluarga Tajudin. Satu-satunya rumah yang tergolong mewah dan berdiri kokoh dengan luas yang layak dianggap sebagai keluarga berkecukupan di antara rumah-rumah tetangganya yang kecil, yang rata-rata luasnya hanya sepetak. Lelaki renta itu menghembuskan nafas terakhirnya tanpa seorang pun tahu. Hanya Ruminem, istri mudanya yang mengabarkan kematiannya kepada anak-anaknya. Beberapa tetangga, termasuk Pak RT telah bersusah payah menggotongnya dari kamarnya di lantai atas menuju lantai bawah. Jenazah dibaringkan di kamar tidur tamu, sebelum akhirnya dipindahkan ke ruang tamu.

Suasana duka tak nampak dari raut muka ke delapan anak-anaknya. Empat laki-laki dan empat perempuan. Dua orang cucunya yang bersekolah di pesantren, saat hendak membacakan surah Yasin dihalangi oleh Uwak dan Bibi-nya. Tiga cucu lainnya yang masih kecil berlarian dan bercanda di sekitar jenazah dan sesekali merengek minta dibuatkan susu. Tak ada surah Yasin, tak ada tahlil bergema di rumah duka. Sunyi. Sunyi semata dari kalimatNya.

Jenazah Tajudin, sang Bapak dibiarkan teronggok di ruang tamu. Bau tidak sedap menguar di ruangan itu. Wewangian, kapur barus, dupa dan bubuk kopi diletakkan di keempat sudut pembaringan jenazah. Es balok besar besar ditumpuk di dua baskom besar dan diletakkan di kolongnya. Namun bau itu tetap menguar. Sesekali tetangga datang melayat, membuka tutup wajahnya dan menutupnya lagi. Bisik-bisik aneh terdengar di antara mereka sekeluarnya dari ruang duka.

Beberapa tetangga hanya berdoa sekadarnya, lalu keluar lagi. Kerabat hanya datang satu persatu, tak lama, lalu pulang. Sunyi. Sepi. Hingga subuh menjelang, semua anak-anaknya melakukan shalat di beranda belakang yang menghadap rerumputan dan ditumbuhi beberapa pokok pohon mangga.

Matahari jelang pukul 8, Pak RT datang. Ya, telah menjadi kewajibannya mengurus warganya yang meninggal. Agus, meski bukan putra sulung, menemuinya.
“Bagaimana, Pak? Jam berapa mau dimandikan? Disholatkan di mana?”
“Saya harus tanya adik-adik saya dulu, Pak. Mau disholatkan atau tidak?”
Pak RT terperanjat.
“Bukankah… bukankah Bapak Tajudin beragama Islam?”
“Saya tidak tahu agamanya, Pak RT. Sebentar saya tanya adik-adik saya dulu.”
“Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak Agus. Kalau ada kabar apapun, segera beritahu saya.”

Pak RT berlalu dengan senyum mafhum. Bagi Pak RT, Tajudin adalah laki-laki yang terlalu pongah untuk mengalah pada tetangga. Perseteruan tentang batas saluran got, batas pagar, dan sebagainya selalu menggantung tak terselesaikan. Begitu juga tentang iuran sampah, iuran keamanan dan perbaikan jalan. Begitu pula jika ia kedapatan menggoda pembantu-pembantu tetangga. Anak-anaknyalah yang selalu meminta maaf atas kerusuhan yang dipicu oleh Tajudin.

Pertengkaran demi pertengkaran dalam keluarga Tajudin kerap terdengar. Apalagi sejak laki-laki tua itu menikahi pembantunya yang bahkan usianya jauh lebih muda daripada putri bungsunya, Yanti. Tak ada yang bisa mencegah bisik-bisik seputar rumor pernikahan luar biasa itu. Bahkan seorang anak telah lahir dari pernikahan keduanya, meski semua meragukan apakah Tajudin masih bisa….

Semua berkumpul di ruang belakang sembari sarapan. Tak ada yang berani memulai membuka perundingan tentang apa yang harus dilakukan dengan jenazah Bapaknya.

“Mau dikubur di mana tuh Papi?” Agus yang dituakan dan dianggap paling terpelajar membuka percakapan.
“Tak usah dikubur, buang saja ke jurang,” Godet, sehari-harinya bekerja sebagai Satpam menyela. Wajahnya tersenyum sinis.
“Hahaha, suruh jalan sendiri saja ke pemakaman,“ Idham menambahkan.
“Ngaco! Ya dikuburlah, daripada bikin susah cari jurang!“ Ipat menyela. Ia masih ingat makian Bapaknya beberapa kali, bahwa ia dicoret dari daftar anak, lantaran menikah dengan seorang marinir.
“Nyatanya, jika Papi mengeluh ada yang mengancamnya dengan senjata atau mengajaknya berkelahi karena pertengkaran kata-kata, suamiku yang datang melerai dan membela. Beberapa kali Bang Edo datang untuk menenangkan hati warga yang sakit hati sama Papi.”
“Heeehh, dengar ya! Dia sendiri yang bilang, nggak usah repot-repot ngurusin kalau dia mati! Kan kita semua sudah di-‘durhaka-durhakain’, diusir-usir dari sini!” Idham menyela lagi.
“Hihihi. Bapakmu itu memang antik. Kita diumpat-umpat, dikata-katai anak durhaka semua. Bukannya dia yang durhaka sama kita, anak-anaknya? Sekolah aja biaya sendiri. Susaaaaah sekali!” Titin menyahut sambil terkekeh.

Mulutnya sibuk mengunyah ikan asin, sambil sesekali menyuapi anaknya. Bagaimana pun ia ingat betul kebiasaan bapaknya mengusirnya dengan menyebut-nyebutnya anjing, anak durhaka, tidak tahu berterima kasih, lantaran ia pernah sekali saja menyuruh Bapaknya sholat daripada mengumpat-umpat pemuda tetangga yang menantangnya berkelahi. Hanya karena persoalan sepele, pemuda itu menyatakan telah lulus kuliah dan memamerkan ijazah sarjananya.

“Tanya tuh Pak RT. Dia tahu kejadian itu. Memalukan!” imbuh Titin.
“Aku tidak mau ikut ambil keputusan. Susahnya ke kita, senangnya ke dia, perempuan sundal itu!“ Titin menambahkan lagi. Istri muda Tajudin, Ruminem belum juga muncul dari dalam kamarnya. Sejak semalam, ia tidak mau keluar dan hanya memeluk anaknya di lantai atas.
“Heiii, anjing sundal! Keluar kamu! Urus tuh mayat lakimu! Jangan cuma nunggu warisan!” Jamilah memanggil istri muda Tajudin sambil memaki. Suaranya yang serak terdengar keras sembari melongok tangga ke ruang atas.
“Sstt, jangan begitu! Malu sama tetangga!” Agus menenangkan.
“Biarin aja. Harta Papi habis dijual buat ‘anjing’ itu! Harta Mami semua itu!” bantahnya lagi.
“Itu ‘anjing’ sudah dapat bagian banyak dari warisan Mami, belum lagi uang pensiun yang lumayan besar. Padahal dulu gaji Mami habis buat makan kita dan uang sekolah!” Idham tak kalah keras.
“Ya betul! Tidak ada contoh baik dari Papi kita! Sama sekali tidak ada,“ Godet menambahkan sambil mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Agus mengangguk mengiyakan.

Yanti anak bungsu Tajudin yang baru saja melahirkan anak kedua segera ikut bicara.
“Coba deh Kakak pikir. Setiap Papi dapat gaji ketiga belas, sama sekali tak pernah memberi sama cucu-cucunya. Belum lagi waktu tanah dan sawah Kerawang dijual, kita semua cuma diberi dua juta. Ratusan juta diambil sama si anjing itu.”
“Anjing itu biang keroknya. Sejak kawin sama dia, harta Papi dan Mami habis. Padahal itu punya kita. Kalau kita sakit minta uang untuk ke dokter saja tidak pernah diberi!” Idham menambahkan.

Suasana selalu menegang jika membahas soal harta warisan mendiang Mami dan Papi, pasangan Tajudin. Apalagi jika Idham, Jamilah dan Godet ikut bicara. Anak-anak lainnya kebanyakan diam dan enggan berkomentar. Bahkan bersembunyi di kamarnya, ketakutan jika mendengar suara-suara gelas dibanting dan pecah berantakan. Semua terjadi jika ada pertengkaran antara Tajudin dengan anak-anaknya. Tangis ketakutan dan bantahan mereka hanya berani disampaikan dalam pembicaraan antar anak-anaknya jika keributan berlalu. Bukan kepada sang Papi.

“Papi kok dilawan? Dasar anak tidak tahu berterima kasih. Tidak tahu adat. Anak durhaka kalian semua! Siapa yang berani melawan Papi? Sini! Gua bacok-bacokin lu! Ingat nggak papi sering ngomong begitu?” Ipat menambahkan. Yang lain mengangguk setuju.

“Si sundal Ruminem yang menggerogoti,” Jamilah menyahut.
“Jadi bagaimana ini? Sebentar lagi Pak RT datang. Papi mau dimandikan,” tanya Agus.
“Ya sudah! Aku sih tidak mau memandikannya!” Titin menyahut, Jamilah mengangguk.
“Jangan begitu, kita kan anak-anaknya? Masa tidak mau memandikan?“ tanya Agus lagi.
“Apa dulu waktu kita lahir diazankan? Rasanya tidak! Aku juga tidak mau menyholatkan, kan Papi sendiri bilang agamanya suka-suka kalau aku berangkat ke masjid. Orang tua gila!” Idham menyela.
“Kita semua nggak ada yang bisa membaca Al Qur’an. Kita semua ditertawakan jika memamerkan bacaan Al Fatihah di depannya,” Ipat menambahkan.
“Ya, puasa pun tidak pernah! Lebaran mau bermewah-mewah, buat sombong-sombongan saja!”
“Mami tidak pernah bahagia. Mami menderita karena Papi selalu menggoda setiap pembantu yang kerja di rumah kita,” Titin menyela.
“Apalagi kalau Mami sholat, ditendang pantatnya suruh cepat selesai karena minta dibelikan nasi goreng. Padahal dia baru habis makan. Untung Mami sabar!” Jamilah menambahkan. Istri Idham yang sedari tadi diam mendengarkan terkejut. Matanya merebak duka. Jilbabnya dibetulkan. Istri Agus pun yang berprofesi guru tak kalah bersedih. Ipar-ipar laki-laki berada di beranda depan menunggui tetangga yang datang melayat.
“Mami begitu sabar. Aku sayang sekali pada Mami,” sahut istri Agus
“Bersyukur semua menantu-menantunya orang-orang yang lembut, dan dibesarkan oleh orang tua yang benar,” lanjut Jamilah.
Semua menantu Tajudin memang tak pernah bersuara. Selama ini mereka hanya diam, tak pernah membela suami atau istrinya jika kedapatan dimaki-maki kasar di depannya.
Pukul 9 menjelang. Pak RT datang lagi.
“Pak Agus, apa sudah mengambil keputusan? Sebentar lagi tukang mandi jenazah kami panggil. Ustadz yang biasa mengajar ngaji anak-anak di masjid.”
“Ya, Silakan Pak RT. Mandikan saja. “
“Mau disholatkan di mana? Rumah atau masjid?”
“Hmm… di masjid saja, Pak RT.”

Pak RT segera berpamitan dan bersiap memanggil tukang mandi mayat. Ruminem muncul. Wajahnya cukup bersedih. Sembari menggendong bocah lelaki berusia dua tahun ia menghampiri jenazah Tajudin. Dibukanya penutup mukanya sejenak. Lalu ditutupnya lagi. Bocah dalam gendongannya merengek minta dijauhkan dari situ.

Menjelang zhuhur, jenazah sudah dikafankan. Lalu beberapa orang menggotongnya menuju masjid. Agus, istrinya dan menantu-menantu lainnya ikut ke masjid dan menyholatkannya. Adik-adik dan seorang kakaknya tidak ikut mengantar. Mereka hanya menunggu di mobil dan bersiap memberangkatkan jenazah Tajudin ke pemakaman.

“Aku tidak akan pernah lupa diusir dan dinyatakan di atas kertas dihapus dari daftar anak! Bahkan sampai diberi materai! Jadi bahan tertawaan semua orang yang pernah dia ceritakan. Padahal kalau dia sakit pasti aku selalu dipanggilnya,“ Deden yang berprofesi dokter membuka pembicaraan.

“Huh, apalagi aku. Waktu kita semua pergi teraweh, diteriaki. Katanya ‘ngapain nungging-nungging? Tuhan kok mau ditunggingin?’ Sudah kubilang agar Papi ‘nyebut’, malah aku ditertawakan. Kujawab ‘Papi ini Islam atau apa sih?’“ Idham menambahkan.
“Apa aja, suka-suka gua! Sudah bisa ditebak! Biasaaa!” empat anak lainnya lelaki dan perempuan menjawab serempak, lalu tertawa cekikikan. “Buat apa disholatkan? Nggak jelas!” seru suara-suara susul menyusul.
“Tuh, orang tua yang dulu selalu merasa akan panjang umur. Kalau diingatkan tentang umur, disuruh taubat, selalu bilang ‘gua nggak bakalan mati’. Eh mati juga!” Godet menyeringai, yang lain terkekeh.

Begitulah. Pemakaman berlangsung diam-diam, anak-anak Tajudin hanya menonton orang-orang yang menurunkan jenazah. Tetangga yang mengantar jenazah hanya beberapa orang. Hanya dua mobil biasa terparkir, mobil ketiga adalah mobil jenazah sebuah yayasan kematian.

Agus menatap gundukan tanah di depannya. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu. Sesekali ia menengok ke sana ke mari mencari-cari seseorang. Entah siapa yang dicarinya. Tak lama kemudian, sesosok perempuan muncul dari kejauhan. Menggendong bocah lelaki, berjalan terseok-seok mengenakan sepatu bertumit tinggi. Pakaiannya berwarna mencolok, berkacamata hitam, berkerudung hitam.

“Papi, nanti si Kevin sekolahnya gimana atuh?” Ruminem berjongkok di sisi makam. Tanpa tetes air mata, tanpa getar kesedihan. Perhiasan bergemerincing di pergelangannya. Sebuah tas kulit hitam diletakkannya di sisi lututnya. Koper kecil di belakang punggungnya. Entah apa yang akan dilakukannya.
“Kenapa kamu baru datang Minem?” Agus bertanya dengan suara keras. Ia menahan geram menatap Inem.
“Anjing! Jangan pura-pura lu! Pensiun Papi buat apa? Rekening lu di bank ratusan juta. Masih kurang, hah?” Jamilah tak sabar membentak Ruminem.

Titin maju mendekat. Direnggutnya kerudung hitam Ruminem. Rambutnya yang dicat merah terlihat mengkilap diterpa sinar matahari. Ruminem mengelak. Titin maju lagi, direnggutnya kacamata hitamnya. Betul tanpa air mata kesedihan! Ipat maju merenggut tas tangannya. Tarik menarik terjadi.
“Mau ke mana lu? Papi sudah meninggal. Lu kagak pernah urus Papi. Mau hartanya saja. Dasar rakus! Pergi lu!” Jamilah, Titin, Ipat dan Godet menyerangnya. Ruminem berdiri tegak mempertahankan tas tangan dan kopernya. Anak dalam gendongan terguncang-guncang.

Agus menahan nafas. Ia membiarkan semua terjadi. Tetangga yang masih berdiri di situ menonton adegan tersebut dengan mulut menganga. Tanah pemakaman masih basah dan merah di siang yang membakar itu.[]

Januari 2013

Ilustrasi: Lukisan folklor Dong Ho 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.