Senin, 01 Juni 2015

Puisi Weni Suryandari di Suara Karya I



Cinta Seribu Musim

Ada yang lebih puitis selain purnama semalam
Hujan yang manis, kabarkan tentang degup api
Di dada putih, angin berhembus tertatih-tatih

Ini cinta tanpa dimensi, tanpa perjalanan emosi
menanti kata tanpa tanda, tanpa rayuan
Mekarlah mekar mawar di temaram kamar

Kucandu merindu-rindu hangat kujelma bidadari
di jantung bulan kabisat, kau nyala sendiri

Kini, dapatkah ciumku sampai di kotamu
Sedang aku lungkrah di kaki senja
saat hujan yang puitis semanis cinta
beribu musim

Maret 2014

Dada Ibu

Di wajah bumi, kulihat engkau bersolek
Dengan keriangan anak-anak dan rengek
kasmaran. Udara mengaburkan kenangan
Saat kau cari ari ari yang terkubur di samping
rumah masa kecilmu 

engkaulah  yang elok memainkan dadaku
meski kilap uban menari di mataku dan matamu
anak-anak kehidupan. buah musim tanpa
romansa dan kata-kata cinta

padamu kulihat tanda perjalanan usia
menanak kisah-kisah absurd kehidupan
di tubuhmu mengalir getah sumsumku,
segala yang tak berbilang dari kesucian
ini dadaku, nak!
meski nyeri tak terperi, aku tegak bagimu!

2014

Dendang Malam

Pada jelang malam, saat bulan menepi
Kunangkunang mencari sepasang mata
Yang tajam melesat panah di jantungku
                ;percik cemburu meminta kecup

Kita sepasang merpati dimabuk rindu
Saling memburu bertabuh pilu, enggan
menulis kata di malam embun, sendu
memikul jarak dan waktu di tubuh kesucian
                ; duka berpaling dari takdir ke hilir

Kita bukan malaikat dengan sayap wahyu
Yang mendekat dan melebur cahaya surga
Sedang semilir angin menyihir lewat nyanyian
Pada telinga pecinta
                ;kita berteman getir hingga percintaan berakhir

2015

Ilusi

Aku mendekap jalanan malam, membunuh angan
Menerjang lampu lampu asing, keriangan palsu di sudut ruang
Sedang kesunyian tekun mengiringi langkahku

Seperti tahun tahun silam penantian
Kulihat kata-kata beterbangan di udara
Musik berbunyi sayup, hatiku kian kuncup
menanti kecup bayangmu redup

Ah! Rinduku retak di meja kafe
segelas anggur dan croissant
Kutelan pelan pelan bersama
angan yang berjatuhan
dari mataku

2014

Maut

Doa doa menggiring bayangbayang abadi
Udara berkabung, kabut berwarna mendung
Aku tersungkur menatap mega hablur
di mataku.

Kita senantiasa berlari dari kitab ke kitab
Sesekali bersembunyi dari kebenaran
Meski daun berderaian, ombak berkejaran,
Gunung berletupan  kita habis sia sia

Apa yang tersisa dari selaksa pedih
Selain bangkai dalam tanah

2015

Dimuat di Suara Karya 14 Maret 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.