Senin, 01 Juni 2015

Puisi Weni Suryandari di Pikiran Rakyat



Puisiku di Pikiran Rakyat
Ras

Aku bukan ras terakhir dari peradaban tua
Rapuh ditelan bulan, bayangbayang musim kawin
Santapan mata yang menagih urat-urat malam
Sedang kesucian tetap hidup di jantung Maria

Langit kota melukis perempuan dari tatapan syahwat

Kudengar angin menyeret tawa dari utara
Sedang tubuhku menelan kemelut zaman tak beribu
menghisap serupa tanah, akar dan pohon kepada air
Kudengar tangis anak anak selokan menagih susu
bukan nyanyian peri, menghibur hati yang pasi

Aku meniti sirath dengan kejemuan akut, petuah tetua
Dan jeruji yang patah di kaki Shubuh, rubuh rekaat

Inilah ras percintaan, saat Timur dan Barat mengendap
di kepala,  jutaan aku tenggelam dalam tangis
di lubang nyawa, sedang anak anak rahim,
kehilangan bapak kehidupan

2014

Tanah Tuan

Seperti yang kubisikkan di telingamu, pada musim lalu
Pesta pora hanya sebatas kata-kata, seperti teriakan pemuda
Yang terinjak tiang baliho dan matanya yang berbicara
Tentang perut negeri tempat anak-anak bermain ayunan, tertawa
Sambil membawa buku-buku kusam dan pensil setengah tajam

Kini bumi telanjang, kita saksikan tarian kering bersama
anak-anak kehidupan yang menangis di pojok peradaban
Tanah, pohon, sawah, kebun, hanya menghuni dalam diam
di dada kenangan. Setiap tetes airmata mencipta ceruk dada
dan tanya: siapakah pemilik sah negeri ini?

Kini penguasa seperti malaikat, kita menjadi angka-angka
demi kebanggaan yang disebut keadilan.
Tanah dirampas, kita terhempas, orang-orang tergilas

Laut, angin di pantai mencipta ombak menderu-deru serupa
jerit pilu di empat penjuru langit. Kita cuma menghitung
jatah, kalender gugur satu-satu. Lalu bumi bersaksi demi
darah terkubur bersama bangkai matahari dan ari ari

2014

Tanah Kita

Nak, di matamu yang cekung
Ibu melihat lambung kosong

Kini kita seperti boneka, ditelan angka
Sejengkal demi sejengkal, tanah ini
bukan milik kita!

Mei 2014

Dimuat di Pikiran Rakyat, 3 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.