Puisiku di Pikiran Rakyat
Ras
Aku bukan ras terakhir dari peradaban tua
Rapuh ditelan bulan, bayangbayang musim kawin
Santapan mata yang menagih urat-urat malam
Sedang kesucian tetap hidup di jantung Maria
Langit kota melukis
perempuan dari tatapan syahwat
Kudengar angin menyeret tawa dari utara
Sedang tubuhku menelan kemelut zaman tak beribu
menghisap serupa tanah, akar dan pohon kepada air
Kudengar tangis anak anak selokan menagih susu
bukan nyanyian peri, menghibur hati yang pasi
Aku meniti sirath dengan kejemuan akut, petuah tetua
Dan jeruji yang patah di kaki Shubuh, rubuh rekaat
Inilah ras percintaan, saat Timur dan Barat mengendap
di kepala, jutaan aku
tenggelam dalam tangis
di lubang nyawa, sedang anak anak rahim,
kehilangan bapak kehidupan
2014
Tanah Tuan
Seperti yang kubisikkan di telingamu, pada musim lalu
Pesta pora hanya sebatas kata-kata, seperti teriakan pemuda
Yang terinjak tiang baliho dan matanya yang berbicara
Tentang perut negeri tempat anak-anak bermain ayunan,
tertawa
Sambil membawa buku-buku kusam dan pensil setengah tajam
Kini bumi telanjang, kita saksikan tarian kering bersama
anak-anak kehidupan yang menangis di pojok peradaban
Tanah, pohon, sawah, kebun, hanya menghuni dalam diam
di dada kenangan. Setiap tetes airmata mencipta ceruk dada
dan tanya: siapakah pemilik sah negeri ini?
Kini penguasa seperti malaikat, kita menjadi angka-angka
demi kebanggaan yang disebut keadilan.
Tanah dirampas, kita terhempas, orang-orang tergilas
Laut, angin di pantai mencipta ombak menderu-deru serupa
jerit pilu di empat penjuru langit. Kita cuma menghitung
jatah, kalender gugur satu-satu. Lalu bumi bersaksi demi
darah terkubur bersama bangkai matahari dan ari ari
2014
Tanah Kita
Nak, di matamu yang cekung
Ibu melihat lambung kosong
Kini kita seperti boneka, ditelan angka
Sejengkal demi sejengkal, tanah ini
bukan milik kita!
Mei 2014
Dimuat di Pikiran Rakyat, 3 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar