Senja di Kaliurang
Sepulang
dari kebun mawar suatu senja
kusaksikan
engkau membawa jantungku
dari
perjalanan menyusuri relung kesunyian,
sementara seluruh
panah kusimpan di langit
;bersama kenangan membatu
kau ulurkan
sayap putih, hendak membawaku
melintasi bulan merah jambu. Mencari cahaya
yang dulu
berpendaran di udara, terangi rumput
basah dan
kilap oleh gerimis.
:dapatkah kau temukan embun di
mataku?
kunikmati
kabut tipis dari Merapi, lapis demi lapis
Kita menahan
peluk dan dingin, juga sepasang bibir
yang gelisah, sebab Kaliurang bukan penjaga
hasrat
yang bisa
patah sekali tebas.
:dapatkah kau kembalikan jantungku?
Seribu
purnama tak akan menjadikan hati
kita hangus
abu, sebab mataku kerap terjaga
sepanjang
zaman untuk seluruhmu.
Oktober 2014
Taman Laut
Ke taman laut, air duka mengalir
terumbu karang pecah bergulir
Seorang penyelam berenang
membawa jantungku. Aku hilang sinar,
percakapan batin pudar
Basah tubuh basah hati, seperti sakit yang berpilin
Atas nama cemburu, rasa yang hampir kulupa
Perlahan bergantungan di ujung bulu mataku
Gelombang pecah berderaian, darah di nadi berkejaran
Pias wajah panas tatapan saat bulat wajah mawar
melambai padamu. Ombak mendebur-debur, dada berloncatan
“hanya namamu terukir di pasir, usirlah khawatir”
peluk aku sepenuh buih di lautan, kekasih
kita dua jiwa yang enggan lepas,
padam api di mataku, sehelai rambutmu
Jatuh di mimpiku
2014
Lepas Tahun
Laut lepas, perahu berlayar sendiri
Angin menepi menunggu tahun pergi
Di puncak malam
Aku melayang di kepalamu,
Ada kenangan bermain di dadaku,
basah
Peluk aku dengan rengkuh seluas sayap
membentang dari langit dan bumi
malam berkabar beribu kisah perihal kita
Dan tahun tahun usang terbakar
di
udara
Air meliuk, gelombang pecah di ujung karang
Perahu masih berlayar sendiri
Laut lepas, menderas-deras di mataku
2014
Demi Waktu
Seperti cermin ;
Padamu kulihat diriku
sama berteriak pilu
Pada lilin menyala juga pada hasrat di kepala
Saling memuja saling menjaga
Siang kepada malam,
bulan kepada kelam
Biar menjadi tanda
sebuah pintu rahasia
Di balik rimbun kisah-kisah,
rindu setia pada basah
Tanpa banyak kata-kata,
do’a terbang ke angkasa
Tuhanku, sampaikan surga, anganku jadilah nyata
Giringlah kami pada takdir keabadian
Demi waktu;
Laut dan gunung berjumpalitan, dada berdebaran
Mata hati, mata air, mata api, bakar getir
Setetes darah pada pengorbanan,
jauh lebih tajam dari kata
2014
Kepada Pantai
Kepada pantai kulepas kenang yang melambai
Pasir berderai, kaki melangkah dalam titian
Angin bersajak tentang sunyi dan kabut kematian
Tanpa nyala warna warni lampu taman keramaian
Seruling darwis mengalun dalam dada serupa zikir
Ketika suara-suara langit memanggil kesadaran
Deru ombak gelombang pecah di karang, mata
hati menyesap setiap peristiwa, waktu berjalan
;Rumi menulis cinta, aku
terpesona kata
Kepada pantai kuutus sebuah nyanyian tentang
Rindu yang karam, pada palung cahaya abadi
kularungkan nyeri berpilin saling mengiris luka
atas jarak dan waktu, kita kepada takdir terakhir
2014
Penantian
Seorang
perempuan berdiri di ujung jalan,
menanti
matahari meneteskan peluh
Angin
bersiut, membawa kabar dari Timur
dan
bisik sunyi mengeja detak umur
Kekasihnya
akan tiba sebentar lagi,
di
stasiun kereta
yang
tak pernah ada dalam peta.
2011
Dimuat di harian Padang Ekspress, 18 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar