Senin, 01 Juni 2015

Puisi Weni Suryandari di Padang Ekspress



Senja di Kaliurang

Sepulang dari kebun mawar suatu senja
kusaksikan engkau  membawa jantungku
dari perjalanan menyusuri relung kesunyian,
sementara seluruh panah kusimpan di langit
            ;bersama kenangan membatu

kau ulurkan sayap putih, hendak membawaku
melintasi  bulan merah jambu. Mencari cahaya
yang dulu berpendaran di udara, terangi rumput
basah dan kilap oleh gerimis.
            :dapatkah kau temukan embun di mataku?

kunikmati kabut tipis dari Merapi, lapis demi lapis
Kita menahan peluk dan dingin, juga sepasang bibir
 yang gelisah, sebab Kaliurang bukan penjaga hasrat
yang bisa patah sekali tebas.  
            :dapatkah kau kembalikan jantungku?

Seribu purnama tak akan menjadikan hati
kita hangus abu, sebab mataku kerap terjaga
sepanjang zaman untuk seluruhmu.

Oktober 2014

Taman Laut

Ke taman laut, air duka mengalir
terumbu karang pecah bergulir
Seorang penyelam berenang
membawa jantungku. Aku hilang sinar,
percakapan batin pudar

Basah tubuh basah hati, seperti sakit yang berpilin
Atas nama cemburu, rasa yang hampir kulupa
Perlahan bergantungan di ujung bulu mataku

Gelombang pecah berderaian, darah di nadi berkejaran
Pias wajah panas tatapan saat bulat wajah mawar
melambai padamu. Ombak mendebur-debur, dada berloncatan

“hanya namamu terukir di pasir, usirlah khawatir”

peluk aku sepenuh buih di lautan, kekasih
kita dua jiwa yang enggan lepas,
padam api di mataku, sehelai rambutmu
Jatuh di mimpiku

2014

Lepas Tahun

Laut lepas, perahu berlayar sendiri
Angin menepi menunggu tahun pergi
Di puncak malam

Aku melayang di kepalamu,
Ada kenangan bermain di dadaku,
                                basah

Peluk aku dengan rengkuh seluas sayap
membentang dari langit dan bumi
malam berkabar beribu kisah perihal kita
Dan tahun tahun usang terbakar
                                di udara

Air meliuk, gelombang pecah di ujung karang
Perahu masih berlayar sendiri

Laut lepas, menderas-deras di mataku

2014



Demi Waktu

Seperti cermin ;
Padamu kulihat diriku  sama berteriak pilu
Pada lilin menyala juga pada hasrat di kepala
Saling memuja saling menjaga
Siang kepada malam,  bulan kepada kelam
Biar menjadi tanda  sebuah pintu rahasia

Di balik rimbun kisah-kisah,  rindu setia pada basah
Tanpa banyak kata-kata,  do’a terbang ke angkasa
Tuhanku, sampaikan surga, anganku jadilah nyata
Giringlah kami pada takdir keabadian 

Demi waktu;
Laut dan gunung berjumpalitan, dada berdebaran
Mata hati, mata air, mata api, bakar getir

Setetes darah pada pengorbanan,
jauh lebih tajam dari kata

2014


Kepada Pantai

Kepada pantai kulepas kenang yang melambai
Pasir berderai, kaki melangkah dalam titian
Angin bersajak tentang sunyi dan kabut kematian
Tanpa nyala warna warni lampu taman keramaian

Seruling darwis mengalun dalam dada serupa zikir
Ketika suara-suara langit memanggil kesadaran
Deru ombak gelombang pecah di karang, mata
hati menyesap setiap peristiwa, waktu berjalan
;Rumi menulis cinta, aku terpesona kata

Kepada pantai kuutus sebuah nyanyian tentang
Rindu yang karam, pada palung cahaya abadi
kularungkan nyeri berpilin saling mengiris luka
atas jarak dan waktu, kita kepada takdir terakhir

2014

Penantian

Seorang perempuan berdiri di ujung jalan,
menanti matahari meneteskan peluh
Angin bersiut, membawa kabar dari Timur
dan bisik sunyi mengeja detak umur

Kekasihnya akan tiba sebentar lagi,
di stasiun kereta
yang tak pernah ada dalam peta.

 2011


Dimuat di harian Padang Ekspress, 18 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.