Cerpen : Weni Suryandari
Entah sejak kapan aku begitu sering mengunjungi taman itu setiap Jum’at dan Sabtu petang. Alunan saksofon itu selalu memanggilku untuk ke sana. Masih terngiang di telingaku alunan saksofon tua itu. Alunan melodinya begitu melankolis, menyayat hati, membuai telingaku hingga menghadirkan kenangan tentangmu. Tadi malam adalah saat yang membuatku tergetar kembali. Alunan melodi itu yang membuatku diayun-ayun rindu padamu. Padamu, Denis
Kembali kurekatkan ritsleting jaketku. Sisa debu jalanan melapisi
seluruh wajahku yang semalaman diterpa debu dan embun. Sekedar kembali
mengingatmu, aku selalu duduk menikmati alunan saksofon lelaki itu, yang
bukan kamu! Air mataku meleleh perlahan, kuusap sambil menyebrangi
jalan menuju rumah kantor kita.
Pak Rebo membukakan pintu pagar sambil memegang sapu lidi. Guguran dedaun kering dari keteduhan flamboyant sedang dibersihkannya dari aspal areal parkir. Ia menganggukkan kepala padaku. Tatap matanya seakan turut prihatin dan mengerti betapa aku merasa kesepian. Kesepian yang begitu sengit, yang menggodaku untuk menghabiskan waktu di taman seberang rumah kita untuk alunan saksofon. Lagu yang kerap kau mainkan jika sedang menghiburku saat sedang sumpek. Ah!
Pak Rebo membukakan pintu pagar sambil memegang sapu lidi. Guguran dedaun kering dari keteduhan flamboyant sedang dibersihkannya dari aspal areal parkir. Ia menganggukkan kepala padaku. Tatap matanya seakan turut prihatin dan mengerti betapa aku merasa kesepian. Kesepian yang begitu sengit, yang menggodaku untuk menghabiskan waktu di taman seberang rumah kita untuk alunan saksofon. Lagu yang kerap kau mainkan jika sedang menghiburku saat sedang sumpek. Ah!
“Terima
kasih Pak. Biarkan pintu terbuka. Siapa tahu Dennis datang siang nanti.”
Ia
melongo menatap dedaunan yang digoyangkan angin.
“Jangan
membantah. Saya capek Pak.”
Kembali
ia menunduk menyapu halaman parkir, mengumpulkan dedaunan kering di pojok pohon
tua.
Sabtu
yang kering bagi hatiku yang sepi. Gaun pengantin yang telah kusiapkan
berminggu minggu lamanya setahun yang lalu tergantung di pojok kamar. Kebaya warna
krem bertabur payet coklat dan putih, dengan leher terbuka. Aku ingat saat mengepasnya, beberapa hari
sebelum kepergianmu. Sebuah peniti tersangkut di ujung rambutku di tengkuk, begitu
cemasnya kau melepas itu.
“Kamu
cantik sekali dengan baju ini.”
“Sayang,
aku malu. Jangan kau pandangi aku seperti itu.”
“Berapa
kalikah sudah kubilang betapa aku sangat mencintaimu, tak akan meninggalkanmu.”
Air
mataku bergulir. Kenangan berjejal di
kepalaku.
Studio
musik itu Dennis, ah bukankah kita punya begitu banyak kenangan di sana? Kita
berdebat soal alat musik antara piano dan saksofon. Aku membela piano, kau
saksofon.
“Saksofon
bisa kumainkan dengan hati.” Ujarmu sambil melap alat musikmu di sore yang
kental dengan aroma hujan. Ah, bukankah semua alat musik memang harus dimainkan
dengan hati? Mungkin engkau menertawaiku kala itu, yang begitu tampak bodoh.
“Saksofon
mesti dimainkan dengan perasaan, kapan kamu harus meniupnya dengan lembut dan
kapan dengan keras, begitu pula dengan vibrasinya.” Ujarmu.
Aku
hanya gadis remaja lugu kala itu, malu ditatap seperti itu saat jemariku
memainkan tuts piano. Ya, baru kusadari, tekanan pada piano tak bisa kuatur
dengan hati. Dia akan berdenting begitu saja jika ditekan. Berbeda dengan saksofon.
Saksofon adalah kau Dennis. Perasaanmu, cintamu, hatimu. Riuh rendah, lembut
keras, bergelombang indah.
Lihat, saksofonmu terpajang di lemari kaca yang
sengaja kubeli untuk menyimpannya. Kuberi rak kayu ukir yang indah agar bisa
berdiri tegak. Wajahmu terpampang di sisi kanan dinding lemari. Itu saat kau sedang
berada di Zurich untuk pementasan jazz. Topi yang kita beli saat sedang melihat
pameran kerajinan Lombok, kau pakai di sana. Gagah dan sangat etnik.
Kubuka
kran air hangat di bathtub, aku ingin berendam. Kutatap mataku yang sembab.
Bola mataku memerah, rambutku kusut tertiup
angin malam. Kulepas jaket dari tubuhku, segera kuraih handuk. Handuk yang
bertuliskan Dennis – Andri.
Pagi
beranjak lepas, satu persatu teman-teman yang bekerja di kantor kita mulai berdatangan.
Kudengar langkah Astri yang selalu diseret. Ia tak pernah mau memakai sepatu
berhak tinggi. Teriakannya memanggil namaku cukup kusambut dengan “ya” dari
dalam kamar. Ia pasti langsung ke dapur dan membuatkan beberapa cangkir kopi
susu untuk Hardi, Jalu dan Riadi.
Ya,
mereka masih bekerja untuk kita, sayang. Sahabatmu Hardi sebagai tenaga arsitek,
Jalu sahabat sekolahku dulu yang sarjana teknik sipil dan Riadi adik sepupumu
dari Jogya sebagai marketingnya. Semua
begitu setia pada kita.
Ya,
membuat perusahaan sendiri adalah cita-cita kita bersama sambil membesarkan dua
orang anak, sepasang atau pun tidak, tak perduli katamu. Semua kandas saat mobil setan ittu menghajarmu
dengan kecepatan setan. Kau tewas dalam kecelakaan di Bandung. Aku
mengibas ngibaskan tanganku, menutup wajahku menahan nyilu di dada. Air mata kutahan
semampuku. Tubuhmu yang hancur, membuatku pingsan beberapa kali saat peristiwa
itu terjadi, dua bulan menjelang pernikahan kita. Bahkan undangan pun sudah
kita susun bersama.
Aku
menatap ke luar jendela. Satu persatu lampu jalanan di sekitar Taman Suropati
mulai menghidupi malam. Suara-suara orang berjalan-jalan, suara-suara musik
ensemble, suara orang berteriak-teriak membaca puisi atau berlatih teater mulai
menyeruak di udara. Semua bentuk hubungan antar manusia berlangsung di situ. Dari
kencan biasa, jalan-jalan sore keluarga, kegiatan seni dan diskusi buku, semua
berlangsung secara sporadis di setiap sudut taman yang rimbun. Tak ada yang
merasa terganggu satu sama lain. Taman itu memang tak pernah sepi dari kegiatan
apapun, katamu. Kecuali bila hujan, mungkin.
Aku
mengintip dari balik jendela kamar. Saung yang semalam dipakai untuk arena
bermusik masih kosong. Hanya ada beberapa anak kecil dan orang tua mereka
sedang bersantai. Segera kusiapkan jaket. Seperti biasa jam kerja yang berlaku
di hari Sabtu, teman-teman kita sudah pulang sejak tiga jam yang lalu. Asri
pulang paling belakangan. Ia pasti membereskan seluruh ruangan, khususnya ruang
rapat.
Malam
menjelang, gema azan Isya telah lama berlalu dari masjid seberang. Kucari
sepatu oleh-oleh darimu yang setia
menemani kakiku. Inah meletakkannya dengan sempurna di rak sepatu di pojok
ruang tamu. Angin berhembus sepoi, mulai terasa sejuk meski knalpot kendaraan begitu
pengap. Kita bersyukur pada pemerintah yang memelihara tempat ini sebagai
kawasan asri di Jakarta. Pengaturan lalu lintas tidak membuat jalanan di
sekitarnya macet. Hanya satu jalur saja yang bisa dilewati kendaraan.
Kuseberangi
jalan, kulompati got yang mengalir lancar meskipun hitam. Segera kucari tempat
nyaman untuk menunggu sang pemain saksofon. Tempat biasa jika kita sedang bosan
saat sedang merenovasi rumah untuk kita jadikan kantor itu. Aku bisa melihat
air mancur dan rerimbunan pohon yang begitu rapi, sedap dipandang.
Lihat,
pemain saksofon itu datang lagi, sayang! Bergegas aku berdiri dan melangkah
menghampiri saung. Ia melirikku sekilas. Namun terasa seakan-akan ia hafal
wajahku yang semalaman menemaninya hingga hampir Shubuh.
Ia
mulai memainkan lagu lagu melankolis sebagai penarik minat orang-orang di
taman. Diiringi suara keyboard oleh pemain di pojok saung, ia mulai dengan lagu
Fatwa Pujangga, dilanjutkan dengan sebuah lagu Parahiyangan yang mengalun sedih.
Beberapa orang mulai merogoh dompetnya , mengeluarkan uang untuk ditaruh di
sebuah topi koboi yang diletakkan terbuka di rerumputan.
Sampai
pada alunan Silhouette, aku seakan mendengar perasaanmu, Dennis. Vibrasi dan
tekanan nafasnya terdengar begitu bernyawa. Nyaris tak kuasa aku menahan air
mata. Bayang-bayangmu, tatapan matamu padaku saat memainkan lagu itu tampil kembali
di layar ingatanku. Ya Tuhan!
Embun
malam merayapi pori-poriku. Aku menggigil kedinginan. Sebuah kotak cokelat tergeletak di sampingku. Aku menoleh ke kanan
dan kiri tapi tak seorangpun nampak sebagai pemiliknya. Kubuka isinya, aku
terkejut bukna kepalang! Sepasang sepatu yang pernah kubelikan dulu saat kita
mencari sepatumu untuk acara pertunangan kita. Sepatu dengan warna yang sama
persis seperti selop yang kukenakan waktu itu.
Mataku
dilamun bayang-bayang. Kepalaku berputar mencarimu, ke segala arah. Mustahil
jika bukan kau yang menggodaku! Aku melangkah cepat ke utara, ke balik air mancur
yang bercahaya oleh kilatan lampu hias. Kupanggil-panggil namamu, namun kau tak
menyahut. Aku berputar arah ke selatan, tak juga kau bersuara. Apakah engkau
sengaja atau karena terlalu bising? Aku mulai lelah, berjongkok dan memeluk
sepasang sepatu itu dalam derai air mata dan gemetar di bibirku.
Orang-orang
di taman tak ada yang perduli. Tak ada yang memberi tanda kemana kau pergi.
Kemana kau beranjak setelah meletakkan sepatu itu di sampingku? Ya Tuhan! Aku
menjerit sekuat tenaga. Dennis!!!
Kulompati
parit kecil sisa genangan hujan. Kutatap pepohonan di pinggir trotoar. Jajaran
kelebatan pohon akasia begitu gelap dan misterius. Seakan semua menutup jalan
tentang kau. Aku menatap ke arah Barat. Hanya ada beberapa kelompok pemain
teater sedang berdiskusi. Kutatap lagi taman bagian Timur, pada jajaran panjang
kursi besi kulihat beberapa pasang pemuda pemudi sedang asyik berpelukan. Aku
mulai lelah!
Kembali
kulangkahkan kaki menuju saung. Aku terduduk lemas, memandangi saung yang kini
kosong. Sebuah saksofon tergeletak sepi di samping kanan saung. Peniupnya sudah
pergi, mungkin pulang. Tapi ia meninggalkan peralatan musiknya di saung itu.
Mungkinkah ia memang meninggalkannya untukku? Tapi untuk apa? Siapa dia? Apakah
dia mengenal kita, Dennis.
Aku
memutuskan pulang. Percuma mencarimu. Kuseberangi kembali got besar dan jalanan
yang masih sepi. Aku ingin segera beristirahat di kamar kita. Kamar yang
mestinya menjadi kamar pengantin kita.
Pintu
pagar masih tertutup. Pak Rebo tentu belum dating sepagi ini. Kubuka pintu
perlahan. Aku takut Inah terbangun dan melihatku menenteng sepatumu, lalu dia
akan menjerit ketakutan, akan bertanya ini itu, akan merepotkan aku dengan jawaban
yang aku sendiri belum tentu tahu.
Lihat,
benar saja! Inah terbangun dan menuju kamar kita. Melihat-lihat apakah aku
sudah pulang atau belum. Dasar pembantu setia! Seperti anjing yang setia pada
tuannya, ia akan marah jika kamar kita diacak-acak oleh orang lain.
Ia
merapikan tempat tidur dan meletakkan sepatumu di sudut lemari hias tempat
saksofonmu. Menyebalkan sekali sikapnya! Kudengar gerutuannya yang tak begitu
jelas.
“Mbak
Andri, kenapa mesti menyusul Kang Dennis ke alam sana? Inah kesepian tak ada teman.
Tidak ada yang menunggui rumah kantor
ini selain Inah. Setiap hari cuma membereskan kamar kosong ini!“
Jati
Asih, Mei 2012
(dimuat di Jurnal Nasional Minggu 14 Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar