Selasa, 07 Oktober 2014

Sepasang Sepatu dan Saksofon Berkarat

Cerpen : Weni Suryandari

        
   Entah sejak kapan aku begitu sering mengunjungi taman itu setiap Jum’at dan Sabtu petang. Alunan saksofon itu selalu memanggilku untuk ke sana. Masih terngiang di telingaku alunan saksofon tua itu. Alunan melodinya begitu melankolis, menyayat hati, membuai telingaku hingga menghadirkan kenangan tentangmu. Tadi malam adalah saat yang membuatku tergetar kembali. Alunan melodi itu yang membuatku diayun-ayun rindu padamu. Padamu, Denis
          Kembali kurekatkan ritsleting jaketku. Sisa debu jalanan melapisi seluruh wajahku yang semalaman diterpa debu dan embun. Sekedar kembali mengingatmu, aku selalu duduk menikmati alunan saksofon lelaki itu, yang bukan kamu! Air mataku meleleh perlahan, kuusap sambil menyebrangi jalan menuju rumah kantor kita. 
Pak Rebo membukakan pintu pagar sambil memegang sapu lidi. Guguran dedaun kering dari keteduhan flamboyant sedang dibersihkannya dari aspal areal parkir. Ia menganggukkan kepala padaku. Tatap matanya seakan turut prihatin dan mengerti betapa aku merasa kesepian. Kesepian yang begitu sengit, yang menggodaku untuk  menghabiskan waktu di taman seberang rumah kita untuk alunan saksofon. Lagu yang kerap kau mainkan jika sedang menghiburku saat sedang sumpek.  Ah!
“Terima kasih Pak. Biarkan pintu terbuka. Siapa tahu Dennis datang siang nanti.”
Ia melongo menatap dedaunan yang digoyangkan angin.
“Jangan membantah. Saya capek Pak.”
Kembali ia menunduk menyapu halaman parkir, mengumpulkan dedaunan kering di pojok pohon tua.
Sabtu yang kering bagi hatiku yang sepi. Gaun pengantin yang telah kusiapkan berminggu minggu lamanya setahun yang lalu tergantung di pojok kamar. Kebaya warna krem bertabur payet coklat dan putih, dengan leher terbuka.  Aku ingat saat mengepasnya, beberapa hari sebelum kepergianmu. Sebuah peniti tersangkut di ujung rambutku di tengkuk, begitu cemasnya kau melepas itu.  
“Kamu cantik sekali dengan baju ini.”
“Sayang, aku malu. Jangan kau pandangi aku seperti itu.”
“Berapa kalikah sudah kubilang betapa aku sangat mencintaimu, tak akan meninggalkanmu.”
Air mataku bergulir.  Kenangan berjejal di kepalaku.
Studio musik itu Dennis, ah bukankah kita punya begitu banyak kenangan di sana? Kita berdebat soal alat musik antara piano dan saksofon. Aku membela piano, kau saksofon.
“Saksofon bisa kumainkan dengan hati.” Ujarmu sambil melap alat musikmu di sore yang kental dengan aroma hujan. Ah, bukankah semua alat musik memang harus dimainkan dengan hati? Mungkin engkau menertawaiku kala itu, yang begitu tampak bodoh.
“Saksofon mesti dimainkan dengan perasaan, kapan kamu harus meniupnya dengan lembut dan kapan dengan keras, begitu pula dengan vibrasinya.” Ujarmu.
Aku hanya gadis remaja lugu kala itu, malu ditatap seperti itu saat jemariku memainkan tuts piano. Ya, baru kusadari, tekanan pada piano tak bisa kuatur dengan hati. Dia akan berdenting begitu saja jika ditekan. Berbeda dengan saksofon. Saksofon adalah kau Dennis. Perasaanmu, cintamu, hatimu. Riuh rendah, lembut keras, bergelombang indah.
Lihat,  saksofonmu terpajang di lemari kaca yang sengaja kubeli untuk menyimpannya. Kuberi rak kayu ukir yang indah agar bisa berdiri tegak. Wajahmu terpampang di sisi kanan dinding lemari. Itu saat kau sedang berada di Zurich untuk pementasan jazz. Topi yang kita beli saat sedang melihat pameran kerajinan Lombok, kau pakai di sana. Gagah dan sangat etnik.
Kubuka kran air hangat di bathtub, aku ingin berendam. Kutatap mataku yang sembab. Bola mataku memerah, rambutku kusut  tertiup angin malam. Kulepas jaket dari tubuhku, segera kuraih handuk. Handuk yang bertuliskan Dennis – Andri.
Pagi beranjak lepas, satu persatu teman-teman yang bekerja di kantor kita mulai berdatangan. Kudengar langkah Astri yang selalu diseret. Ia tak pernah mau memakai sepatu berhak tinggi. Teriakannya memanggil namaku cukup kusambut dengan “ya” dari dalam kamar. Ia pasti langsung ke dapur dan membuatkan beberapa cangkir kopi susu untuk Hardi, Jalu dan Riadi.
Ya, mereka masih bekerja untuk kita, sayang. Sahabatmu Hardi sebagai tenaga arsitek, Jalu sahabat sekolahku dulu yang sarjana teknik sipil dan Riadi adik sepupumu dari Jogya sebagai marketingnya.  Semua begitu setia pada kita.
Ya, membuat perusahaan sendiri adalah cita-cita kita bersama sambil membesarkan dua orang anak, sepasang atau pun tidak, tak perduli katamu.  Semua kandas saat mobil setan ittu menghajarmu dengan kecepatan setan.  Kau  tewas dalam kecelakaan di Bandung. Aku mengibas ngibaskan tanganku, menutup wajahku menahan nyilu di dada. Air mata kutahan semampuku. Tubuhmu yang hancur, membuatku pingsan beberapa kali saat peristiwa itu terjadi, dua bulan menjelang pernikahan kita. Bahkan undangan pun sudah kita susun bersama.
Aku menatap ke luar jendela. Satu persatu lampu jalanan di sekitar Taman Suropati mulai menghidupi malam. Suara-suara orang berjalan-jalan, suara-suara musik ensemble, suara orang berteriak-teriak membaca puisi atau berlatih teater mulai menyeruak di udara. Semua bentuk hubungan antar manusia berlangsung di situ. Dari kencan biasa, jalan-jalan sore keluarga, kegiatan seni dan diskusi buku, semua berlangsung secara sporadis di setiap sudut taman yang rimbun. Tak ada yang merasa terganggu satu sama lain. Taman itu memang tak pernah sepi dari kegiatan apapun, katamu. Kecuali bila hujan, mungkin.
Aku mengintip dari balik jendela kamar. Saung yang semalam dipakai untuk arena bermusik masih kosong. Hanya ada beberapa anak kecil dan orang tua mereka sedang bersantai. Segera kusiapkan jaket. Seperti biasa jam kerja yang berlaku di hari Sabtu, teman-teman kita sudah pulang sejak tiga jam yang lalu. Asri pulang paling belakangan. Ia pasti membereskan seluruh ruangan, khususnya ruang rapat.
Malam menjelang, gema azan Isya telah lama berlalu dari masjid seberang. Kucari sepatu  oleh-oleh darimu yang setia menemani kakiku. Inah meletakkannya dengan sempurna di rak sepatu di pojok ruang tamu. Angin berhembus sepoi, mulai terasa sejuk meski knalpot kendaraan begitu pengap. Kita bersyukur pada pemerintah yang memelihara tempat ini sebagai kawasan asri di Jakarta. Pengaturan lalu lintas tidak membuat jalanan di sekitarnya macet. Hanya satu jalur saja yang bisa dilewati kendaraan.
Kuseberangi jalan, kulompati got yang mengalir lancar meskipun hitam. Segera kucari tempat nyaman untuk menunggu sang pemain saksofon. Tempat biasa jika kita sedang bosan saat sedang merenovasi rumah untuk kita jadikan kantor itu. Aku bisa melihat air mancur dan rerimbunan pohon yang begitu rapi, sedap dipandang.
Lihat, pemain saksofon itu datang lagi, sayang! Bergegas aku berdiri dan melangkah menghampiri saung. Ia melirikku sekilas. Namun terasa seakan-akan ia hafal wajahku yang semalaman menemaninya hingga hampir Shubuh.
Ia mulai memainkan lagu lagu melankolis sebagai penarik minat orang-orang di taman. Diiringi suara keyboard oleh pemain di pojok saung, ia mulai dengan lagu Fatwa Pujangga, dilanjutkan dengan sebuah lagu Parahiyangan yang mengalun sedih. Beberapa orang mulai merogoh dompetnya , mengeluarkan uang untuk ditaruh di sebuah topi koboi yang diletakkan terbuka di rerumputan.
Sampai pada alunan Silhouette, aku seakan mendengar perasaanmu, Dennis. Vibrasi dan tekanan nafasnya terdengar begitu bernyawa. Nyaris tak kuasa aku menahan air mata. Bayang-bayangmu, tatapan matamu padaku saat memainkan lagu itu tampil kembali di layar ingatanku. Ya Tuhan!
Embun malam merayapi pori-poriku. Aku menggigil kedinginan. Sebuah kotak cokelat  tergeletak di sampingku. Aku menoleh ke kanan dan kiri tapi tak seorangpun nampak sebagai pemiliknya. Kubuka isinya, aku terkejut bukna kepalang! Sepasang sepatu yang pernah kubelikan dulu saat kita mencari sepatumu untuk acara pertunangan kita. Sepatu dengan warna yang sama persis seperti selop yang kukenakan waktu itu.
Mataku dilamun bayang-bayang. Kepalaku berputar mencarimu, ke segala arah. Mustahil jika bukan kau yang menggodaku! Aku melangkah cepat ke utara, ke balik air mancur yang bercahaya oleh kilatan lampu hias. Kupanggil-panggil namamu, namun kau tak menyahut. Aku berputar arah ke selatan, tak juga kau bersuara. Apakah engkau sengaja atau karena terlalu bising? Aku mulai lelah, berjongkok dan memeluk sepasang sepatu itu dalam derai air mata dan gemetar di bibirku.
Orang-orang di taman tak ada yang perduli. Tak ada yang memberi tanda kemana kau pergi. Kemana kau beranjak setelah meletakkan sepatu itu di sampingku? Ya Tuhan! Aku menjerit sekuat tenaga. Dennis!!!
Kulompati parit kecil sisa genangan hujan. Kutatap pepohonan di pinggir trotoar. Jajaran kelebatan pohon akasia begitu gelap dan misterius. Seakan semua menutup jalan tentang kau. Aku menatap ke arah Barat. Hanya ada beberapa kelompok pemain teater sedang berdiskusi. Kutatap lagi taman bagian Timur, pada jajaran panjang kursi besi kulihat beberapa pasang pemuda pemudi sedang asyik berpelukan. Aku mulai lelah!
Kembali kulangkahkan kaki menuju saung. Aku terduduk lemas, memandangi saung yang kini kosong. Sebuah saksofon tergeletak sepi di samping kanan saung. Peniupnya sudah pergi, mungkin pulang. Tapi ia meninggalkan peralatan musiknya di saung itu. Mungkinkah ia memang meninggalkannya untukku? Tapi untuk apa? Siapa dia? Apakah dia mengenal kita, Dennis.
Aku memutuskan pulang. Percuma mencarimu. Kuseberangi kembali got besar dan jalanan yang masih sepi. Aku ingin segera beristirahat di kamar kita. Kamar yang mestinya menjadi kamar pengantin kita.
Pintu pagar masih tertutup. Pak Rebo tentu belum dating sepagi ini. Kubuka pintu perlahan. Aku takut Inah terbangun dan melihatku menenteng sepatumu, lalu dia akan menjerit ketakutan, akan bertanya ini itu, akan merepotkan aku dengan jawaban yang aku sendiri belum tentu tahu.
Lihat, benar saja! Inah terbangun dan menuju kamar kita. Melihat-lihat apakah aku sudah pulang atau belum. Dasar pembantu setia! Seperti anjing yang setia pada tuannya, ia akan marah jika kamar kita diacak-acak oleh orang lain.
Ia merapikan tempat tidur dan meletakkan sepatumu di sudut lemari hias tempat saksofonmu. Menyebalkan sekali sikapnya! Kudengar gerutuannya yang tak begitu jelas.
“Mbak Andri, kenapa mesti menyusul Kang Dennis ke alam sana? Inah kesepian tak ada teman. Tidak ada yang menunggui rumah kantor  ini selain Inah. Setiap hari cuma membereskan kamar kosong ini!“

Jati Asih, Mei 2012


(dimuat di Jurnal Nasional Minggu 14 Oktober 2012)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.