Hujan
Agung
Bulan melengkung, angin
berkibas basah
lampu lampu terangi
jalan berwajah
sungai, hingga tiba Shubuh sunyi
sedang ciumku tak
sampai-sampai
di kotamu
oi, aku cemburu
gigil rindu tak dapat
kutahan,
kata-kata pingsan di
udara,
pecah hujan bertalun,
pecah sunyi mengalun
kidung
kekasih menusuk dada
aku
luluh lantak,
lebur bersama jiwa-jiwa
yang terbang
dan mata-mata airmata
hantarkan sajak pendoa
menyelinap di antara
bangsal kematian
sepanjang lorong
langit, sambil
membawa debar di jantungku
ke dadamu
dan ciumku yang tak
pernah sampai
2014
Marsinah; 1993
Kuberitahu padamu
tentang harihari
yang terbang ke balik
jeruji dan membeku darah.
Bau mayat dan amis
sejarah
Gerombolan pedagang
kaki lima atau pengemis
menjamur di musim puasa
ternyata lebih merdeka
dari nasib ditusuk besi di lubang kelahiran
padahal kematian itu
adalah takdir yang ikhlas hadir
Kuberitahu padamu
tentang asal muasal kegaduhan musim,
Saat rumput jadi
makanan dan tanah tempat bernafas
dirampas oleh jumawa
berbalut seragam, kita menangis
tak punya apa-apa
tak punya apa apa
Simbol kematian hanya
tertanam di tanah,
Sedang langit berwarna
cerah,
burung-burung terbang
rendah,
orang-orang tetap
tertawa
Kuberitahu padamu tentang negeri ini,
nyawa adalah hitungan untung dan rugi
Mei 2014
Perjalanan
Rindu
Aku melihat air mata
menderas dari gunung-gunung
Isaknya menggema di
udara, di sisi-sisi bukit
menanti kunang-kunang
tuntaskan kesakitan
dari matamu. Sejumput
kisah penuh kesedihan.
Sebentar lagi malam
menutup pintu
Embun menusuk hingga ke
rusuk, sunyi mengutuk
Kusaksikan kata-kata
menggenangi kolam jantung
Mengekalkan senarai
perjumpaan, di lembah bakung
Ini bukan luka yang
kita pelihara, atau badai
menghantam dada
berkalikali, tetapi hujan
menyatukan kita,
sepasang bibir yang kalah
pada perpisahan abadi.
Kerinduan meletup
menembus batas kenangan,
bulan semakin berkerut,
mengecup hutan perawan,
dan suara angin
meninggi, mencemaskan bungabunga,
dedaunan, pepohonan,
menerbitkan tangis, menderas
saat rindu begitu bulat,
seperti bulan jatuh
di dadaku
April 2014
Lelaki
Bulan
Di tepi fajar engkau terpaku, tatap
ujung-ujung rambutku, basah serupa
setangkup hujan yang tergenggam
di tangan birahi tak bertuan
Ranting ranting tua berderak pelan,
mengusik lamunan, merapal mantra
Zulaikha kepada Yusuf, pesona nubuat
sambil kutelan kata-katamu
hingga beku nadi
Aku berdiri, menggenggam mimpi
mencintaimu setinggi bulan berlesung pipit
Aroma mawar
di kesunyian,
membawa hatiku
padamu
Desember 2013
Lelaki
Siapakah engkau sesungguhnya
Yang memberiku nama perempuan
dan melanggengkan kenikmatan beriring
kesakitan, menjadi sulur sejarah hidup kita
Pada matamu terlukis cahaya berwarna marun
menyala di jantung, menanam mawar dan mencucup
sisa senja dengan takzim dan penuh hasrat
Sedang aku tetap mengulum matahari, memberimu
ladang mimpi, hendak diam atau menggali lubang
untuk tubuh tanpa detak nadi
Siapakah engkau sesungguhnya
Ketika sunyi menjadi puisi dan kerinduan
Kini kutahu, di dadamu kutetesi darah
Dari pecahan hati yang setia kuutuhkan kembali
Sebab laut selalu memilik pantai, seperti hatiku
yang selalu setia berlabuh
April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar