Jumat, 12 September 2014

Puisi Weni Suryandari di Majalah Story 2012



Puisi Ini
Ini pisau adalah puisimu
Saat kunang kunang gemerlap
Atas kematian cintamu
Dan sebatang lilin menambah riuh
Cahaya, dari keikhlasan tak terperi

Sore kau berkata cinta,
Malam kau berlaku jalang, menyalak
Pada anjing yang kau sebut “cintaku”
Berulang-ulang, hingga beku darah
Menggenang di sayatan pedih
Ada yang harus jelma batu, untukmu

Agustus 2011

Sumur Keabadian

Ada sumur yang begitu dalam dan gelap
Di situ kebahagiaan dan kepedihan menyatu
Tak ada yang ingin kulepas atau kuikat
Siksa dan kelembutan adalah dua warna menyatu

Aku tahu sangat, di jiwa apimu juga ada cinta
Sebagai lelaki yang tak takut segala, aku
abadi dalam benakmu, perut bumi yang nyeri,
yang kau sebut Ibu
simaklah seluruh kisah duka perempuan
Untuk kau tulis dalam pelepah rapuh daun-daun kering
Aku terbuka!

selalu ada harapan akan keteduhan
bukan pada sihir matamu, berlumut kabut
Tapi pada cincin bulan saat bayangmu menjelma
Menjadi Dewa Api membakarku, musnah

Juni  2011

Cerita Itu

Menulislah tentang cinta
Yang kau penjara di bilik kacamu
Untuk kau pandangi sebagai
Benda yang bisa kau genggam
Lalu kau lempar sesukamu
Atau kau jadikan tokoh dalam cerita
Yang kau kirim lewat sepoi angin
Pada burung  riuh mencicit
Mematuk dan menelannya tanpa cerna

Aku tenggelam di pusaran lambung
Sebagai cerita itu

Juli 2011

Trah
Jalan yang terlewati adalah rentang masa
Dari wangi kanak-kanak menuju wangi dewasa
Asap dupa dari cungkup Asta Tinggi,
Adalah nyawa feodal
yang kau pertahankan, di lubuk biang

Bumi berputar, zaman berarak, merekah lalu kuncup
Sibuk mengatur bencana dan perang
Atas nama bangsa yang bahkan untuk hidup pun
Harus sepenuh ketakutan
                                                 
Kebenaran seakan ditelan kerut zaman,
Bukan lagi manusia berukur kasta,
Tapi isi jiwa lebih bertahan
Siapa yang mesti melawan apa
yang kau sebut  trah?
Kemilau harta dan kasta akan hancur
Sedang ruh suci akan abadi
Di tegak  masa.

Agustus 2011

Melati Senja

Pada rona merah melati terang tanah
Aku menggali ingatan sensual
Saat perawan digunting ajal
Persetubuhan kabut perjanjian palsu
Hidup dan maut di lipatan masa

Perjamuan telah ditutup
Orang orang mewirid doa sumbang
Tentang perawan dipinang bujang
Dari negeri dongeng, jalan berkerikil
meluas di ceruk getir.

Suruh siapa angin bertandang diam-diam di beranda senja
Mengambil sekantung beban tanpa syarat
merangkul penat dalam perubahan musim
Patah hati berulang dan ketiadaan tiang kekar bersandar
Kala rapuh bahu

Tanah merah berkerak akar, menumbuhtunaskan segala cinta
Entah absurd atau bermusim teguh
Keabadian adalah kepastian
Sedang takdir adalah milik kita sendiri sendiri

(hatiku menengadah untuk bahagiamu, tuntas)

Agustus 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BULAN PECAH

BULAN PECAH Alangkah tebal tanda seru untuk perasaan sebal saat bulan tidak lagi utuh, sedang dadaku butuh kemurnian jalan wirid ;kembali pada Hyang Pohon nyiur di Timur berkibas, masa silam tenggelam, bertunas, bunga kesadaran merebak. Para pandita berlayar melanjutkan doa-doa, barangkali kita sanggup melupa duka dan air mata negeri padahal kertap pada atap dadamu kerap berderap lebih mencekam serupa bulan pecah belingsatan bertaburan di laut.